Senin 16 Nov 2020 08:06 WIB

Deforestasi Ancam Kuliner Masyarakat Adat, Kok Bisa?

Masyarakat adat menjadikan hutan sebagai supermarket alami.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Reiny Dwinanda
Peserta memasak kuliner tradisional mi aceh pada Festival Mie Aceh 2019 di Blangpadang, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (15/06/2019). Masyarakat adat
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Peserta memasak kuliner tradisional mi aceh pada Festival Mie Aceh 2019 di Blangpadang, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (15/06/2019). Masyarakat adat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setiap masakan, baik Nusantara maupun Barat adalah produk budaya yang lahir dari tradisi dan berkembang dari generasi ke generasi. Tanah dan kekayaan alam yang identik dengan tanah-tanah ulayat merupakan sumber kehidupan bersama yang secara kolektif dimiliki, dikelola, dan dipertahankan keberlanjutannya.

“Masyarakat adat yang mayoritas penduduknya merupakan petani tradisional, menempatkan hutan sebagai sumber pangan, sumber sandang, dan sumber pengetahuan,” kata chef Rahung Nasution dalam acara virtual Jakarta Content Week, disimak di Jakarta, Jumat (13/11).

Baca Juga

Rahung menjelaskan, hutan merupakan sekolah sekaligus supermarket alami. Segala kebutuhan dapur diambil dari hutan dan diolah dengan teknik memasak yang sangat sederhana, misalnya, direbus, dipanggang di atas bara api, dibungkus daun, atau dimasukkan ke dalam bambu. Teknik memasak yang sangat sederhana dan minim bumbu itu bisa ditemukan di hampir semua komunitas masyarakat adat.

Yang menarik dari itu, menurut Rahung, bukan teknik memasaknya yang sangat sederhana, tapi ketersediaan berbagai bahan pangan serta pengetahuan masyarakat secara tradisional untuk menyimpan hasil panen di lumbung-lumbung pribadi atau komunal. Mereka menyimpannya sebagai bekal persediaan hingga musim panen selanjutnya atau bahkan persediaan untuk menghadapi musim paceklik.

Rahung menjelaskan, bagi masyarakat adat, hutan bukan saja sumber pangan dan sandang. Hutan juga berfungsi sebagai sumber obat-obatan.

Lantas, apa yang akan terjadi jika hutan habis atau beralih fungsi? Rahung menyebut, laju deforestasi mengakibatkan aneka satwa kehilangan habitatnya. Hewan seperti kera, babi, bahkan gajah menyerbu ladang atau terjun ke kawasan permukiman untuk mencari makan.

“Selain hewan, tentu saja masyarakat adat yang selama ini menggantungkan kehidupannya pada hutan juga akan kehilangan sumber pangan utama. Di sinilah letak keruwetan jika kita berbicara tentang masakan adat,” ujar dia.

Aspek lain akibat laju deforestasi adalah perubahan iklim, wabah, dan bencana alam. Rahung menegaskan, tidak ada satu makhluk hidup di planet Bumi yang tidak akan merasakan dampaknya.

Untuk planet Bumi, hutan berfungsi sebagai penyimpan karbon, konservasi tanah, dan meregulasi siklus air. Hutan juga rumah bagi spesies yang tak terhitung jumlahnya dan penyokong utama mata rantai makanan bagi keberlanjutan spesies-spesies tersebut.

Namun, banyak tempat di belahan bumi ini, deforestasi melaju semakin tak terkendali. Pada Agustus, BBC melaporkan Institute Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa menunjukkan peningkatan 84 persen kebakaran hutan di Amazon. Penebangan dan pembakaran hutan juga meningkat, terutama di Indonesia dan Madagaskar.

"Jika laju deforestasi tak bisa dihentikan, berbicara tentang keragaman masakan masyarakat adat adalah hal yang sia-sia. Sebab, apa yang dimaksud dengan masakan masyarakat adat adalah aneka ragam bahan pangan yang disediakan oleh hutan, yang kini keberlanjutannya sedang terancam,” tutur Rahung.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement