REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika, 'Abdul Muththalib, tokoh sekaligus pembesar kaum Quraisy itu bersama putranya 'Abdullah datang ke rumah Wahb di perkampungan Bani Zuhrah. Turut bersama Abdul Muththalib adalah para putri dan wanita Bani Hasyim.
Tahu akan kedatangan rombongan Abdul Muththalib, Wahb pun bergegas menemui Siti Aminah. Tampak mata sang ayah berkaca-kaca karena saking senangnya akan besanan dengan tokoh Quraisy. la segera menyampaikan, "Putriku, tokoh Bani Hasyim telah datang memintamu untuk diperistri putranya, Abdullah."
Seketika air mata berlinang di kedua sudut mata Aminah. Sang ayah pun sudah bisa membaca bagaimana besarnya kebahagiaan sang putri yang memenuhi hatinya.
Baca juga: Aminah binti Wahb: Dari Rahimnya Lahir Rasulullah (1)
Wahb tak menunggu jawaban darinya. Sebab kebahagiaan terpancar jelas di wajah putrinya.
Kata-kata yang lahir dari hati terdalam dan berat terucap di kedua bibir lebih kuat menunjukkan kelapangan hati menerima perkawinan itu. Aminah pun dipersunting oleh 'Abdullah.
Mengikuti jejak sang ayah, Abdullah ibn 'Abdul Muththalib juga menjadi pedagang dan duta besar. Bersama para pedagang Arab lainnya, ia pergi ke pasar-pasar Arab, termasuk pusat-pusat perdagangan di Yaman dan Syam.
Dalam sebuah perjalanan dagang, 'Abdullah jatuh sakit hingga wafat. Jasadnya dikebumikan di Madinah. Sembilan bulan kemudian, Muhammad ibn Abdullah lahir. Ya, lahir di kota Makkah.
Sepeninggal Abdullah ibn Abdul Muththalib, Siti Aminah tetap memenuhi hak-hak suaminya, sekaligus ayah dari Rasulullah SAW. Setiap tahun ia selalu berziarah ke kuburannya.
Pada usia Muhammad enam tahun, Siti Aminah kembali berziarah ke kuburan suaminya bersama 'Abdul Muththalib dan Ummu Aiman, pengasuh Rasulullah saat kecil.
Namun, setiba di al-Abwa, tepatnya di perjalanan pulang menuju Makkah, ibunda Nabi tutup usia. Jenazah sang ibunda dikebumikan di sana.
Selesai