Selasa 24 Nov 2020 14:01 WIB
Cerita di Balik Berita

Menggigil di Canberra, Hampir Hipotermia di Australia

Awalnya berharap bisa bermain salju, tetapi baru udara dingin sudah kedinginan.

M Subroto, Jurnalist Republika
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Salah satu kenorakan orang Indonesia jika ke luar negeri adalah bermain salju. Tentu saja kalau negara yang dikunjungi punya empat musim.

Aku termasuk orang pingin norak seperti itu. Aku ingin sekali bermain di salju. Sepertinya enak sekali bermain-main dengan es seputih kapas.  Berlari-lari di udara dingin.

Kesempatan itu muncul ketika aku berkunjung ke Australia Juli tahun 2007. Aku berangkat meliput Pertemuan Tingkat Menteri membahas isu HIV/AIDS. Acara itu bersamaan juga dengan Konferensi Internasional HIV/AIDS yang digelar di Sydney.

Musim dingin di Australia berlangsung bulan Juni hingga Agustus.  Jadi bulan Juli sudah di pertengahan musim dingin. Mana tahu salju turun, dan aku bisa norak-norak bergembira.

Aku sudah mengantisipasi hawa dingin. Aku sengaja menjawa jaket kulit yang tebal, pemberian kakak iparku Iman Sumitradilaga di Amerika.  Dengan jaket itu aku tak merasakan hawa dingin sekalipun.

Aku datang atas undangan Pemerintah Australia. Dari Indonesia hanya berdua saja, dengan wartawan Kompas Elok Dyah Messwati.

Di Sidney, selain menghadiri pertemuan AIDS,  kami mengunjungi   fasilitas kesehatan untuk menanggulangi HIV/AIDS dan narkoba. Kami juga bertemu dengan tokoh masyarakat dan agama, juga warga Indonesia di Sydney.

Tapi aku kecele dengan harapan mendapati salju. Jangankan salju, udara di Sydney tak dingin-dingin amat. Hampir sama dengan di Puncak, Bogor. Di bulan Juli suhu paling tinggi 17 derajat celcius, paling rendah 7 derajat celcius. Jaket kulitku tak banyak kupakai.

Jika ingin berharap salju, yang paling dekat dari Sydney harus ke Snow Montain di negara bagian New South Wales (NSW) yang letaknya lebih ke Selatan. Jika naik kendaraan bisa enam jam ke sana. Tak mungkinlah.  Jadi harapan bermain salju sudah lenyap ditelan bumi.

Selesai acara di Sydney aku dan Elok meneruskan liputan ke Canberra. Ibu Kota Australia itu jaraknya 266 km dari Sydney. Berbeda dengan Sydney yang sibuk, Canberra adalah kota yang tenang. Jalan-jalan  tak ramai dengan lalu lalang kendaraan. Banyak jalur hijau dan taman-taman. Penduduknya tak terlalu banyak. Pukul delapan malam toko-toko banyak yang tutup.

Saking sepinya Canberra, ada yang bilang di sana lebih banyak populasi kanguru daripada manusia. Entah benar-entah tidak, tapi aku malah tak pernah bertemu kanguru selama di Canberra.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement