REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Muhammadiyah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Muhammadiyah meminta pemerintah merevisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Mendangung Zat Adiktif Berupa Prouk Tembakau bagi Kesehatan, serta Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok.
Surat rekomendasi diajukan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) UMY bersama Muhammadiyah Tobacco Control Network. Surat itu ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti.
"Hal ini bukan untuk menentang kebijakan yang sudah dibuat, tapi Muhammadiyah ingin menemani pemerintah agar Indonesia bisa mencapai Sustainability Development Goals (SDGs)," kata dr. Supriyatiningsih dari Muhammadiyah Steps UMY, Rabu (25/11).
Terlebih, Indonesia tercatat salah satu negara berprevalensi perokok tertinggi di ASEAN, dengan 65 juta lebih perokok dewasa aktif. Proporsi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) usia 15 tahun ke atas (2016-2018) naik dari 32,8 persen ke 33,8 persen.
Data Sirkesnas dan Riskesdas menunjukkan peningkatan dari 8,8 persen (Sirkesnas 2016) ke 9,1 persen (Riskesdas 2018). Bahkan, kenaikan konsumen tidak diikuti kenaikan harga tembakau, dan nilai cukai rokok tidak memenuhi asas keadilan bagi produsen.
Satu contoh, bisa dilihat dari Jawa Tengah yang notabene satu dari tiga provinsi penghasil tembakau terbesar Indonesia, selain Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Ada 25 dari 35 kota/kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi produsen tembakau.
Jumlah produksi dalam kurun waktu empat tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan dari 27.924 ton/tahun menjadi 48.359 ton/tahun. Namun, peningkatan itu tidak diikuti peningkatan harga tembakau, yang terus jadi keresahan para petani.
Ketua MTCC, Dra. Retno Rusdjijati menuturkan, UM Magelang telah paparkan penelitian di Magelang, Temanggung, Boyolali, Klaten, Kendal, Wonosobo dan Pemalang ke petani tembakau. Yang mana, belum sejahtera walau produksi meningkat dan kualitas terjaga.
Petani rutin menanam tembakau tiap tahun baik secara monokultur maupun polikultur (45 persen dan 40 persen). Walau harga tidak kunjung naik, mereka harus terus budidaya tembakau karena tidak ada komoditas lain hasilkan keuntungan lebih besar jika dibudidayakan.
"Dalam kondisi apapun, petani masih akan menanam atau berhubungan dengan tembakau karena tembakau sudah merupakan tradisi yang bersifat turun temurun," ujar Retno.