Kamis 26 Nov 2020 09:58 WIB

Pandemi Picu Meningkatnya Kekerasan pada Perempuan di Dunia

Virus corona telah memicu kekerasan dalam rumah tangga lebih jauh

Rep: Mabruroh/ Red: Esthi Maharani
Pemeran tampil pada aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Foto: Antara/Rahmad
Pemeran tampil pada aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Panggilan hotline nasional untuk kekerasan dalam rumah tangga meningkat lima kali lipat di beberapa negara di seluruh dunia. Peningkatan kekerasan dalam rumah tangga setelah Covid-19, yang digambarkan sebagai "pandemi bayangan".

Statistik Bank Dunia pada 25 November Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, mendefinisikan kekerasan sebagai epidemi global yang mempengaruhi satu dari setiap tiga perempuan.

Dilansir dari Anadolu Agency, 35 persen perempuan menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual oleh pasangannya. Sedangkan 38 persennya, perempuan dibunuh di tangan pasangannya sendiri. Rata-rata 137 wanita per hari dibunuh oleh anggota keluarga, sementara kurang dari 40 persen perempuan yang mengalami kekerasan segera mencari bantuan. Sekitar 49 persen korban perdagangan manusia adalah perempuan, ditambah dengan keterlibatan anak perempuan, angka ini meningkat menjadi 72 persen.

Kekerasan terhadap perempuan juga terlihat di negara maju dan di negara berkembang yang juga menyebabkan depresi, aborsi, dan masalah kesehatan umum. Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga sudah berlaku di 155 negara di seluruh dunia. Ini menjadi tanda tanya besar, apakah kepatuhan terhadap hukum di negara-negara ini pada standar internasional kurang dalam praktiknya.

"Virus corona telah memicu kekerasan dalam rumah tangga lebih lanjut, serta masalah sosial dan ekonomi," tegas UN Women dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (26/11).

Panggilan hotline nasional untuk kekerasan dalam rumah tangga meningkat lima kali lipat di beberapa negara. Setelah kebijakan bekerja dari rumah mulai diberlakukan selama wabah. Pembatasan pergerakan, isolasi sosial, dan kemerosotan ekonomi menyebabkan semakin rentannya perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu sebagian besar dari mereka juga terpaksa diisolasi serumah dengan pelaku kekerasan. Selain itu, layanan yang diberikan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan terganggu karena pandemi.

Perempuan berisiko lebih tinggi kehilangan pekerjaan dibandingkan laki-laki. Proporsi perempuan yang bekerja di sektor ekonomi informal adalah 60 persen, dan pandemi tersebut menyebabkan jutaan perempuan kehilangan pekerjaan dan menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan.

Di sisi lain, 70 persen tenaga kesehatan dan 80 persen perawat di seluruh dunia adalah perempuan. Mereka bekerja di garis depan sektor kesehatan dalam kontak yang lebih dekat dan lebih lama dengan pasien juga menjadi faktor risiko tambahan bagi mereka. Menurut perkiraan, proporsi tenaga kesehatan wanita yang terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia dua kali lipat dari laki-laki.

Dampak ekonomi dari pandemi akan menyebabkan lebih banyak perempuan mengalami pelecehan seksual, sementara masalah ekonomi dan kondisi hidup yang sulit juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah pengantin anak.

Sekitar 48 negara telah menerapkan langkah-langkah baru untuk memerangi pandemi bayangan ini dengan tindakan mendesak lebih lanjut diperlukan. Menurut pihak berwenang, pendekatan multi-tahap dan multilateral harus diadopsi di tingkat sosial dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan.

Dampak pandemi Covid-19, terutama pada perempuan, menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai selama ini melalui upaya intensif selama bertahun-tahun untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan dapat menghilang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement