REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Iran menuduh Israel sebagai dalang pembunuhan ilmuwan nuklir kenamaannya, Mohsen Fakhri Zadeh, pada Jumat (27/11) di dekat Teheran. Iran juga mengisyaratkan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengizinkannya.
Perwakilan Iran di PBB Majid Takht Ravanchi telah berkirim surat ke Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Dalam surat tersebut, Ravanchi mengatakan bahwa Iran memiliki 'hak untuk mengambil langkah yang dibutuhkan' untuk membela diri.
Ravanchi juga meminta Dewan Keamanan PBB mengecam pembunuhan tersebut dan mengambil langkah 'terhadap pelakunya'. Tidak ada informasi mengenai Fakhri Zadeh dipublik.
Namun, badan intelijen negara-negara Barat dan Israel sudah lama mengangggapnya sebagai koordinator program senjata nuklir Iran. Teheran sudah menghentikan program tersebut sejak tahun 2003 tapi Amerika Serikat (AS) dan Israel bersikeras Iran memulainya kembali.
Fakhri Zadeh satu-satunya ilmuwan Iran yang tercantum dalam asesmen akhir Badan Energi Atom Internasional 2015 yang menyelidiki program nuklir Iran. Laporan tersebut mengatakan ia mengawasi aktivitas 'kemungkinan program nuklir (Iran) yang mendukung dimensi militer'.
Fakhri Zadeh adalah tokoh utama dalam presentasi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu 2018. Saat Netanyahu menuduh Iran melanjutkan penelitian untuk mengembangkan senjata nuklir.
"Ingat nama ini, Fakhri Zadeh," kata Netanyahu saat itu.
Pejabat Pentagon pemerintahan Trump, Michael Mulroy, pernah mengatakan pembunuhan Fakhri Zadeh akan memundurkan program nuklir Iran. Ia memperingatkan AS harus menerapkan kewaspadaan tingkat tinggi mengingat Iran dapat melakukan serangan balasan.
Kementerian Pertahanan mengumumkan bahwa Fakhri Zadeh dibunuh oleh "teroris bersenjata" di dekat ibu kota Teheran pada Jumat (27/11). Media setempat memberitakan bahwa Fakhri Zadeh, kepala program nuklir Kementerian Pertahanan, diserang di desa Absard, 60 km timur laut Teheran, pada sore hari.