REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hak cipta awalnya belum dikenal di masa awal sejarah Islam. Karena, hak cipta lahir di dunia Barat. Para ulama kemudian turut melakukan kajian secara mendalam tentang masalah hak cipta. Namun, di kalangan para ulama sendiri terjadi perdebatan, ada yang menolak adanya hak cipta dan ada yang mendukung.
Dikutip dari buku “Hak Cipta Dalam Kajian Fiqih Kontemporer” karya Ustaz Ahmad Sarwat, kalangan ulama yang menolak hak cipta memiliki beberapa argumen dan hujjah. Pertama, mereka menolak hak cipta karena di dalam Islam menyebarkan ilmu dicatat sebagai ibadah.
Menurut Ustaz Sarwat, mencari ilmu adalah ibadah, demkian juga dengan mengajarkan ilmu. Maka orang yang mengajarkan ilmu, apalagi ilmu agama, tidak selayaknya malah ‘berjualan’ ilmu. Adanya hak cipta dianggap sama saja dengan orang berjualan ilmu menurut pandangan ini.
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa menutup ilmu berdosa, sehingga mereka pun menolak hak cipta. Ketika seorang yang berilmu ditanya orang yang butuh ilmu tersebut, lalu dia tidak mau memberikannya kecuali dengan bayaran, maka tindakan ini dianggap sama saja dengan kitamanul ilmi atau menutup ilmu. Dan hukumnya haram serta berdosa.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
يعلمه أجلم يوم القيامة بلجام من انر ً منكتم علما
“Siapa yang menutup ilmu yang dimilikinya maka akan dicambuk di hari kiamat dengan cambuk dari api. (HR.Abu Daud, Ibnu Maja dan Tirmizy)
Sementara itu, kalangan ulama yang mendukung hak cipta juga mempunyai beberapa hujjah (dalil) yang mendasari pendapat mereka. Di antaranya, mereka mengutip sebuah dalil yang menyatakan dibolehkannya menerima upah dari Alqur’an. Hal ini lah yang menjadi dasar mereka mendukung penegakan hak cipta.
Ustaz Sarwat menjelaskan, seseorang boleh menerima upah dari mengajarkan Alquran, sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:
رواه البخاري ًكتاب هللا" إن أحق ما أخذمت عليه أجرا
“Yang paling berhak untuk kamu terima upah adalah mengajarkan kitabullah. (HR. Bukhari).
Kalangan ulama yang mendukung hak cipta juga berhujjah bahwa Rasulullah Saw membolehkan orang yang menikah dengan mahar Alqur’an, sebagaimana hadits berikut :
قد زوجتكها مبا معك من القرآن
“Aku telah nikahkan kamu dengan istrimu dengan apa yang kamu miliki dari Al-Quran. (HR. Abu Daud).
Selain itu, kalangan ulama yang mendukung hak cipta berpedapat bahwa menulis mushaf juga diakui sebagai jasa, yang mana penulisnya berhak mendapat upah atas keringatnya. Dalam hal ini ada fatwa dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu:
فعن ابن عباس أنه سئل عن أجر ة كتابة املصاحف فقال:
ال أبس إمنا هم مصورون، وإمنا أيكلون من عمل أيديهم
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu di mana beliau ditanya tentang upah penulis mushaf. Beliau pun menjawab,’Tidak mengapa, karena dia menyalin dan mereka berhak menerima jasa atas upaya mereka’,”.