REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tes swab atau usap dengan polymerase chain reaction (PCR) masih menjadi metode terakurat mendeteksi infeksi virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19. Namun, hasil pemeriksaan memang kadang berbeda, meski pengujian dilakukan dalam waktu berdekatan.
Pakar Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr Titik Nuryastuti, menjelaskan ada beragam faktor memengaruhi hasil uji swab PCR. Salah satunya ialah faktor waktu dan prosedur pengambilan sampel swab.
"Waktu pengambilan swab yang berbeda bisa memberikan hasil pemeriksaan yang berbeda pula," kata Titik, Selasa (8/12).
Titik mencontohkan, seseorang melakukan tes swab di rumah sakit dan hasilnya positif. Keesokan harinya, orang itu kembali melakukan swab PCR di rumah sakit yang berbeda, namun hasilnya menjadi negatif.
Titik menerangkan, bila ini terjadi dalam masa inkubasi virus, yakni hari ke dua hingga 14 setelah terpapar, kondisi itu disebut sebagai negatif palsu. Ini mungkin terjadi karena jumlah virus yang rendah dan berada di bawah ambang deteksi PCR.
"Alhasil, uji swab memberikan hasil negatif," ujar Ketua Tim Laboratorium Covid-19 FKKMK UGM tersebut.
Banyak faktor memengaruhi hasil uji swab PCR, seperti fase preanalitik, analitik, dan post analitik. Fase preanalitik memberi pengaruh terbesar, mulai dari proses pengambilan, penanganan, dan transportasi sebelum sampai lab, penyimpanan, dan pengiriman sampel.
Lalu, fase analitik atau proses pengerjaan ekstraksi RNA dan PCR. Terakhir, fase post analitik atau tahapan interpretasi hasil dan penyerahan hasil ke pasien. Titik menyebut, tahapan-tahapan itu memengaruhi keakuratan hasil pemeriksaan tes swab.
"Jadi, bisa dari pengambilan sampel, prosedur pengambilan sampel, transportasi sampel ke lab dan lainnya. Namun, yang paling kritis itu saat pengambilan sampel," jelasnya.
Titik mencontohkan, dalam proses pemeriksaan swab PCR di Lab Covid-19 FKKMK/RSA UGM semua prosedur telah sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan dilakukan di lab dengan fasilitas Biosafety Level (BSL) 2 plus. Prosedurnya telah pula diuji PME ke Litbangkes Jakarta dan lulus 100 persen.
Saat ini, lab Covid-19 FKKMK UGM mengikuti tes profisiensi dengan mengerjakan panel isolat yang dikirim Litbangkes. Kit PCR sesuai rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sensitivitas dan spesifitas bagus, tidak ada reaksi silang virus penyebab infeksi saluran pernapasan lain.
"Sebagian sampel yang masuk lab kami sudah dilakukan sekuensing untuk mengetahui urutan genomnya, sehingga membuktikan proses PCR yang dilakukan memang betul bisa mengamplifikasi gen virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19," ujar Titik.
Terkait perbedaan hasil antar lab, Titik menekankan, perlunya mempertimbangkan juga pemeriksaan swab PCR dilakukan dalam konteks penelusuran kontak erat. Bila hasil uji swab PCR positif, tidak perlu dilakukan swab ulangan dalam waktu berdekatan.
"Swab evaluasi tidak wajib untuk dilakukan, bila akan dilakukan sebaiknya diambil setelah hari 10," kata Titik.
Pakar virologi FKKMK UGM dan tim lab Covid-19 UGM, dr Mohamad Saifudin Hakim, menjelaskan, uji swab PCR sangat tergantung ketepatan waktu. Misal padanya hari ke-0 gejala, pemeriksaan PCR optimal dilakukan hari ke-3 dan ke-5 usai muncul gejala.
Untuk itu, sebaiknya tetap isolasi mandiri bagi yang tidak bergejala sesuai protokol pencegahan Covid-19. Sebab, orang dengan hasil awal positif lalu uji dalam waktu dekat dengan hasil negatif masih potensi jadi sumber penularan Covid-19 ke lingkungan.
"Sesuai data WHO saat ini 80 persen populasi di masyarakat sudah terinfeksi Covid-19 dan tidak bergejala atau bergejala ringan saja," ujar Hakim.
Satgas Covid-19 UGM, Arif Nurcahyanto menyebut, tidak dipungkiri ada kecemasan dalam seseorang dengan perbedaan hasil uji swab PCR. Sebab, tidak setiap orang siap mendengar atau menerima fakta yang menyakitkan, termasuk saat terinfeksi Covid-19.
Arif mengatakan, reaksi pertama yang umumnya terjadi kepada seseorang yang dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19 ialah perasaan syok. Selain itu, ada perasaan marah dan penolakan, sehingga mereka memilih melakukan uji pembanding di rumah sakit berbeda.
"Menghadapi kondisi seperti ini, sebaiknya menerima kenyataan akan apa yang terjadi. Kuncinya penerimaan dan harus memutus mata rantai penularan serta berendah hati mengurangi aktivitas di luar rumah, mematuhi protokol kesehatan" kata Arif.