REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak jarang saat kita sholat di sebuah masjid, mushala atau saat berada di sebuah tempat pendidikan Islam, bahkan mungkin di rumah, kita menemukan mushaf Alquran yang tidak utuh atau tidak lengkap, bahkan rusak di beberapa bagian. Dari sisi kelayakan, tentu mushaf Alquran yang seperti ini tidak layak lagi dijadikan bacaan.
Alquran ini bahkan rawan tercecer atau disalahgunakan seperti untuk pembungkus makanan, dagangan, dan lain-lain sehingga sangat menodai, melecehkan kemuliaan Alquran itu sendiri, dan hukumnya haram. Bahkan jika pelakunya adalah seorang Muslim yang sengaja melakukannya untuk penghinaan (Ihanah) maka dia sudah murtad atau keluar dari Islam.
Lalu, bagaimana adab memperlakukan mushaf Alquran yang rusak ini menurut Islam? Ketua Lembaga Peradaban Luhur yang juga kepala divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Center (JIC), Ustadz Rakhmad Zailani Kiki mengatakan, pada masa Rasulullah memang belum terjadi peristiwa mushaf yang rusak.
Sebab tulisan Alquran masih dituliskan oleh para sahabat di atas pelepah kurma, potongan tulang, kulit binatang, dan batu. Adab atau penyikapan terhadap mushaf Alquran baru terjadi pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan.
Ketika itu Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk membakar Alquran yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. Ustadz Kiki, begitu ia akrab disapa, menjelaskan pengertian rusak di mushaf yang dibakar ini bukan karena rusak pada fisiknya, tetapi rusak pada penulisannya, seperti tulisannya bercampur dengan ayat-ayat yang telah mansukh (ditiadakan), tetapi beberapa sahabat tetap memasukkannya dalam mushaf mereka.
Demikian pula urutan penomoran surat tidak sesuai yang ditunjukkan oleh Jibril, serta beberapa penafsiran sahabat yang bukan merupakan ayat Alquran, namun dianggap sebagai Alquran.