Selasa 15 Dec 2020 18:41 WIB

Tim Advokasi HRS Sebut Penetapan Tersangka tidak Sah

Tim Advokasi HRS mengajukan gugatan praperadilan penetapan tersangka HRS.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Anggota Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab, Kamil Pasha.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anggota Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab, Kamil Pasha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab (HRS) mengatakan penetapan tersangka terhadap HRS oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya beserta jajarannya adalah tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Karena itu, mereka meminta penyidikan atas perkara yang menjerat HRS harus dihentikan (SP3).

"Segala penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut yang berkaitan, termasuk penangkapan dan penahanan juga tidak sah," kata anggota Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab, Kamil Pasha, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/12).

Baca Juga

Tim Advokasi HRS mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatannya, tim advokasi mengutarakan sejumlah alasan yang membuat penetapan tersangka dan penahanan terhadap HRS menjadi tidak sah. 

Pertama, Kamil Pasha mengatakan, penerapan Pasal 160 KUHP yang dikenakan kepada HRS merupakan delik materiil. Menurut Kamil Pasha, tafsiran Pasal 160 KUHP tentang penghasutan sebagai delik materiil ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7/PUU-VII/2009. 

Sebagai delik materiil, ia mengatakan, harus jelas siapa yang menghasut dan siapa yang disahut. Selain itu, penghasutan tersebut harus terbukti di pengadilan memunculkan kerusuhan. 

"Misalnya adanya suatu hasutan mengatakan sehingga menyebabkan orang terhasut membuat kerusuhan, atau anarkisme, lalu diputus bersalah oleh pengadilan, dan telah berkuatan tetap," kata dia.

Dengan demikian, penerapan Pasal 160 KUHP harus disandarkan pada bukti materiil dan bukan semata-mata berdasarkan selera penyidik. Namun, ia meragukan penyidik memiliki bukti-bukti terkait hal tersebut. 

Sebab, ia mengatakan, tidak ada bukti materill mengenai putusan pengadilan yang menyatakan kerusuhan karena hasutan sebelum HRS ditetapkan sebagai tersangka. Tim advokasi pun menduga polisi menjerat HRS dengan Pasal 160 KUHP agar dapat menahan HRS yang dikenal sebagai sosok kritis dan menyuarakan kebenaran.

Kedua, tim advokasi juga menyoroti pengenaan Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terhadap tersangka kerumunan Petamburan. Pengenaan pasal ini juga tidak disertai bukti penetapan karantina wilayah. 

DKI Jakarta selaku lokasi acara di Petamburan tidak menerapkan karantina wilayah. Karena itu, menurut tim advokasi, penerapan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan adalah salah, dan mengada-ngada, serta tidak disandarkan pada bukti materiil.

"Bahwa hubungan sebab-akibat tersebut di atas harus didukung dengan adanya minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan karena delik materiil haruslah didukung oleh bukti materiil pula," kata dia.

Tim advokasi pun menyatakan tidak adanya bukti materiil yang mendasari penggunaan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai predicate crime. Padahal, penerapan pasal ini berkaitan dengan Pasal 216 KUHP, yakni perintangan penyidikan, sehingga harus ada penyidikan yang dihalang-halangi oleh HRS.

Namun, ia mengatakan, penggunaan Pasal 216 KUHP gugur dengan tidak sahnya penerapan dua pasal 160 KUHP dan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, Pasal 216 tidak dapat berdiri sendiri atau harus berkaitan dengan predicate crime-nya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement