REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan intensifikasi pengawasan pangan di seluruh wilayah Indonesia. Intensifikasi pengawasan merupakan bentuk pengawasan post-market yang dilakukan untuk melengkapi pengawasan rutin Badan POM, di samping kegiatan operasi/pengawasan dengan target khusus.
Menurut Kepala BPOM Penny K Lukito, upaya ini sekaligus untuk mengantisipasi potensi bahaya produk pangan tidak memenuhi ketentuan (TMK) yang cenderung meningkat pada hari-hari besar, sebagai akibat meningkatnya permintaan (demand) dan persediaan (supply) kebutuhan pangan.
“Melalui intensifikasi yang dilakukan oleh 33 Balai Besar/Balai POM dan 40 Kantor Badan POM di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, pengawasan berfokus pada pangan olahan Tanpa Izin Edar (TIE)/ilegal, kedaluwarsa, dan rusak. Intensifikasi ini sudah dimulai sejak akhir November 2020,” katanya saat konferensi virtual BPOM mengenai pengawasan obat dan makanan jelang Natal dan Tahun Baru, Rabu (23/12).
Dalam intensifikasi pengawasan tahun ini, dia melanjutkan, BPOM memeriksa 2.687 sarana distribusi pangan, berupa importir, distributor, grosir, dan ritel. Hasilnya, 982 sarana distribusi TMK (36,55 persen). Pangan kedaluwarsa mendominasi pelanggaran yang ditemukan, yaitu sebanyak 60.656 kemasan (63,07 persen). Diikuti dengan pangan ilegal sebanyak 31.316 kemasan (32,56 persen) dan pangan rusak sebanyak 4.201 kemasan (4,37 persen).
Berdasarkan lokasi temuan, pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Baubau, Bengkulu, Sofifi, Manggarai Barat, dan Banda Aceh. Pangan ilegal banyak ditemukan di Baubau, Surakarta, Tangerang, Bengkulu, dan Tarakan. Sementara pangan rusak banyak ditemukan di Kendari, Baubau, Manado, Sorong, dan Sofifi. Menurut Kepala Badan POM, dibandingkan dengan intensifikasi pengawasan pangan Tahun 2019 pada periode yang sama, terdapat sedikit perbedaan, antara lain pada mekanisme pemeriksaan dan jumlah sarana distribusi yang diperiksa.
Jika di tahun 2019, pemeriksaan dilakukan secara onsite untuk 3.594 sarana distribusi pangan (importir, distributor, grosir, dan ritel), maka di tahun 2020 ini, sebanyak 2.687 sarana distribusi dilakukan pemeriksaan yang dioptimalkan melalui pengawasan secara onsite maupun virtual/online karena keterbatasan mobilitas petugas akibat kondisi pandemi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap sarana distribusi yang berjualan secara daring/online.
“Pada tahun 2019, temuan pangan TMK lebih banyak disebabkan oleh pangan kedaluwarsa (59,72 persen). Tahun 2020 ini, temuan pangan TMK juga didominasi oleh pangan kedaluwarsa, namun jumlahnya meningkat, yaitu menjadi 63,07 persen. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi pandemi yang membuat daya beli masyarakat turun, sehingga banyak produk yang tidak terbeli,” katanya.
Sebagai upaya perlindungan masyarakat, dia melanjutkan, seluruh produk pangan TMK telah diturunkan dari rak pajang/display dan/atau diamankan setempat, serta diperintahkan kepada pihak sarana distribusi pangan untuk tidak mengedarkan produk tersebut. Terhadap sarana distribusi pangan yang melakukan pelanggaran peredaran pangan, BPOM juga melakukan upaya pembinaan dan memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia menambahkan, BPOM berkomitmen untuk senantiasa mengawal keamanan pangan dan melindungi kesehatan masyarakat, terutama di masa darurat pandemi COVID-19.
"Untuk itu, kepada pelaku usaha pangan diimbau agar selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dalam menjalankan usahanya," katanya.
Ia meminta masyarakat harus terus menjalankan protokol kesehatan dan menjadi konsumen cerdas dalam memilih pangan aman dengan selalu melakukan Cek Kemasan, Cek Label, Cek Izin edar, dan Cek Kedaluwarsa (Cek Klik) sebelum membeli atau mengonsumsi pangan olahan.