REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fauzan Muhammadi, Dosen Fakultas Hukum UAD, Yogyakarta
JAKARTA -- “Perempoean dan lelaki Islam itoe masing-masing berhak bermadjoean dan berkesempoernaan, dan bahwa semua jang dikata kemadjoean itoe ijalah menoeroet hak batas-batasnja sendiri-sendiri”.
Deradjat Perempoean menjadi gema pidato luar biasa di masanya. Orasi voordracht yang tidak biasa ini tersampaikan tepat pada Kongres Perempuan yang pertama di Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Kontroversi cukup berani di satu sisi, namun sebuah ideologi religi atraktif di sisi lainnya. Mengapa cukup berani? Karena penggalan isi pidato mengurai pembelaan hukum perkawinan Islam, utamanya permasahan poligami.
Topik yang bagi kalangan perempuan cukup menggerahkan. Susan Blackburn (2007: xxxviii), penulis Kongres Perempuan Pertama, menggambarkan gerahnya sebagian peserta kongres sebagai 'sengatan lebah'. Walau pada dasarnya bukan poligami yang menjadi tujuan pidato, namun agaknya rasa-rasa disengat poligami cukup menutupi konteks yang diutarakan.
Adalah Sitti Moendjijah, sang orator perempuan di tengah kerumun peserta Kongres Perempuan Pertama Indonesia. Naskah ‘Deradjat Perempoean’ yang ia sampaikan menjadi gugatan serius kaum hawa untuk maju dan berwawasan.
Kakak kandung Siti Bariyah ini lahir di Kauman, Senin legi, awal tahun 1317 H tanggal 14 Dzulhijjah. Ia salah satu putri dari Haji Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta.
Saudara-saudaranya seperti Siti Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusumo, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah adalah satu tali keluarga yang dikenal dengan Bani Hasyim. Mereka juga teristimewakan karena meguru langsung dengan Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Moendjijah memulai guratan wawasan kemajuan dari Madrasah Diniyah lalu diteruskan di kelas Qismul Arqa, di rumah Kiai Dahlan. Qismul Arqa kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Madrasah Muallimin dan Mu’allimaat Yogyakarta.
Matang sebagai kader, ia seringkali diminta turut serta setiap kali Kiai Dahlan diundang. Salah satu yang acap kali dikutip adalah undangan dari Sarekat Islam (SI) Cabang Kediri.
Bersama saudaranya, Haji Fachrodin, mereka diajak berdua oleh KHA Dahlan memenuhi undangan SI Kediri pada 20 November 1921. Pandainya Moendjijah berpidato membuatnya diberikan kehormatan menyampaikan wawasan agama pada kegiatan SI Kediri tersebut.