REPUBLIKA.CO.ID -- Kota Konya di Turki baru saja memperingati 747 tahun kematian Jalaludin Rumi.
Upacara Seb-i Arus, ritual tahunan di Turki
Upacara Seb-i Arus, yang diadakan setiap tahun pada 17 Desember, memiliki arti 'malam perpaduan' dalam bahasa Turki. Malam perpaduan dikenal dalam urutan Mevlevi sebagai malam saat Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī meninggal.
Karena Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī menganggap kematiannya bukan sebagai akhir tetapi sebagai reuni dengan Tuhan tercinta, peringatan kematiannya disebut 'Malam Perpaduan' atau juga disebut sebagai 'Malam Reuni'.
Rumi menafsirkan kematian sebagai kembali ke asal-usul manusia atau kembali kepada Allah karena fakta sumber kehidupannya adalah alam ilahi.
Menurut Rumi, kematian bukanlah lenyapnya jasmani, melainkan pelarian menuju Allah. Rumi mengungkapkan filosofinya tentang kematian dengan kata-kata: "Semua orang menyebutnya sebagai pergi, namun saya menyebutnya sebagai reuni."
Filosofi dasar Ordo Mevlevi: Upacara Sema
Upacara sema yang dilakukan pada acara peringatan Rumi diperingati mengandung simbol-simbol penting yang mencerminkan filosofi dasar Ordo Mevlevi.
Sema secara umum mengungkapkan pembentukan alam semesta, kebangkitan manusia di dunia, manusia bertindak dengan cintanya kepada Tuhan dan perjalanannya menuju manusia yang sempurna.
Upacara Sema melambangkan perjalanan mistik dari pendakian spiritual manusia melalui pikiran dan cinta menuju kesempurnaan.
Kostum simbolis dari para darwis yang berputar-putar (semazens) yang melakukan upacara sema juga memiliki arti penting.
Sementara topi kerucut (sikke) mewakili batu nisan ego, rok panjang putih mewakili kain kafan ego.
Di atas jubah itu, para darwis yang berputar-putar mengenakan jubah hitam panjang (hırka) yang melambangkan kuburan duniawi mereka.
Di awal pertunjukan, semazen membuka kedua tangan ke sisi mereka seolah-olah merangkul alam semesta dan mulai berputar berlawanan dengan arah jarum jam.
Tangan kanan, telapak tangan ke atas mengarah ke langit, melambangkan kesiapan untuk menerima kemurahan hati Tuhan.
Telapak tangan kiri melihat ke bawah ke arah bumi, melambangkan kesediaan para semazens untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada mereka yang menyaksikan Sema dan yang lainnya.
Selama pusaran, semazens melepas jubah gelap mereka yang mewakili rasa terlahir kembali ke kebenaran secara simbolis dan dengan menyilangkan tangan mereka di dada, mereka mewakili angka satu.
Dengan demikian, semazens menjadi saksi keyakinan bahwa "hanya ada satu Tuhan".
BACA JUGA: Peringatan 747 Tahun Kematian Jalaludin Rumi: Malam Reuni dengan Tuhan (1)