Oleh Ahmad Muttaqin
Mau dan mampukah kita menyapa, bergaul, bekerjasama, atau bahkan menolong orang yang berbeda dengan kita? Beragam perbedaan, mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, agama, suku, jenis kelamin, hobby, pekerjaan, partai politik, dll.; bisakah kita secara ikhlas menerima kehadirannya di sekitar kita?
Setidaknya ada empat kategori cara memandang perbedaan ini. Pertama adalah orang yang menganggap segala yang berbeda dengan dirinya sebagai musuh. Kedua adalah kelompok yang karena berbeda maka tidak mau menyapa. Ketiga, orang yang menganggap perbedaan itu sebagai alasan untuk menjalin kerjasama. Dan keempat, orang yang memandang perbedaan sebagai modal untuk saling memperkaya.
Dua kategori pertama tersebut merupakan cara pandang negatif terhadap perbedaan, sedangkan dua yang terakhir sebagai cara pandang positif. Kedua cara pandang tersebut berimplikasi terhadap keharmonisan hidup di alam yang majemuk ini. Secara internal, cara pandang tersebut juga berimplikasi pada kualitas persatuan atau ukhuwah umat Islam.
Sulitnya membangun ukhuwah diantara umat Islam yang terdiri dari berbagai aliran, faham dan golongan dipengaruhi oleh masih kentalnya cara pandang negatif terhadap perbedaan di kalangan umat Islam. Kualitas ukhuwah yang berjalan selama ini, apakah masih sekedar basa-basi atau sudah mewujud dalam ukhuwah yang autentik, juga dipengaruhi oleh mind set kaum muslimin dalam memandang perbedaan dan keanakaragaman di kalangan umat Islam.
Sudah sejak 14 abad yang lalu Al-Quran menyadarkan kita bahwa Allah SWT menciptakan makhluk yang sangat plural, majemuk dengan segala aneka rupa perbedaan. QS. Al Hujarat ayat 13 menegaskan: “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempauan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesunggunya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mata teliti.