Kamis 31 Dec 2020 04:45 WIB

SPI: Tahun 2020 Penuh Cobaan Buat Petani

Program food estate yang diprakarsai oleh pemerintah tidak memberi ruang bagi petani

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
 Seorang petani menggarap sawahnya di Kerawang, Indonesia, 28 Desember 2020. ilustrasi
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Seorang petani menggarap sawahnya di Kerawang, Indonesia, 28 Desember 2020. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Indonesia (SPI) merilis catatan akhir tahun di penghujung tahun 2020 ini. Ketua Umum SPI, Henry Saragih menyampaikan, catatan tersebut disusun berdasarkan data-data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa.

“Harapannya ini menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan. Mengingat petani dan warga perdesaan sebagai pihak yang terpapar langsung dari kebijakan di sektor pertanian dan perdesaan, belum terlibat langsung dalam perumusan kebijakan yang akan berdampak pada mereka sendiri,” kata Henry secara tertulis kepada Republika.co.id, Rabu (30/12).

Baca Juga

Henry mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang serius bagi tata niaga pertanian di Indonesia. Sejak pertama kali dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia pada awal Maret 2020, situasi pandemi Covid-19 mengakibatkan rendahnya serapan produk hasil pertanian.

Diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mayoritas diterapkan di perkotaan, seperti di Jabodetabek, Jawa Timur, Banten, dan daerah perkotaan lainnya pada awal sampai pertengahan tahun.

Henry melanjutkan, pemerintah pada dasarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya pemerintah telah merangkul BUMN di sektor pangan sebagai penjamin pasar (off taker) agar produksi dari petani dapat diserap.

Namun, kata Henry, SPI menyoroti bahwa kebijakan belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya memaksimalkan peran BUMN sektor pangan, bahkan dapat menjadikan koperasi-koperasi petani sebagai penjamin sarana untuk membeli sekaligus memasarkan hasil panen dari petani,” tambahnya.

Ia melanjutkan, dalam rangka mengantisipasi pemenuhan pangan di Indonesia khususnya di masa pandemi Covid-19, pemerintah justru berfokus pada program food estate yang tengah dijalankan di beberapa wilayah Indonesia saat ini.

Henry menjelaskan, food estate yang disebut-sebut sebagai kegiatan pertanian skala luas, modern, dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial berbasis iptek, modal, organisasi, dan manajemen modern, pada praktiknya akan memberi ruang yang besar bagi korporasi ataupun modal untuk ikut berinvestasi.

Keikutsertaan korporasi yang difasilitasi dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Patnership (PPP) akan memperparah ketergantungan pangan Indonesia karena memberikan tanggung jawab soal pangan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

“Selain itu, ditinjau dari aspek perumusan kebijakan, program food estate yang diprakarsai oleh pemerintah tidak memberi ruang bagi petani dan orang-orang yang berada di perdesaan untuk menentukan sistem pangan sendiri dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan terkait setuju atau tidaknya program food estate tersebut dijalankan,” paparnya.

Henry menambahkan, rencana pemerintah dengan mendorong food estate di beberapa wilayah Indonesia ini juga dinilai tidak diiringi dengan pertimbangan yang tepat.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement