REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA-Pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dwi Apri Nugroho mengatakan pemerintahan baru ke depan perlu memberikan perhatian lebih besar untuk pekerjaan di sektor pertanian.
Bayu dalam keterangannya, di Yogyakarta, Jumat (5/4/2024), mengatakan perhatian lebih besar diperlukan, mengingat hingga Februari 2023 tercatat sedikitnya 40,69 juta orang di Indonesia bekerja di bidang pertanian.
"Mengangkat petani dari kemiskinan dan menobatkan mereka sebagai pahlawan pangan adalah tugas besar yang akan dihadapi pemerintahan terlantik nantinya di bulan Oktober," kata dia.
Menurut dia, pemerintahan sebelumnya telah meluncurkan banyak program untuk menyejahterakan para petani, namun hingga saat ini belum signifikan mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
Menurut dia, banyak program telah diluncurkan mulai dari intensifikasi pertanian yang mencakup penggunaan bibit unggul, perbaikan saluran irigasi, dan penggunaan pupuk, hingga program pendampingan dan penyuluhan yang masif dan intensif untuk kelompok tani.
Terkait regenerasi petani, kata dia lagi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa 64,50 juta orang Indonesia berada dalam kelompok umur pemuda, namun persentase yang bekerja di sektor pertanian hanya 21 persen.
Jumlah tersebut, kata dia, lebih kecil jika dibanding pekerja di sektor industri manufaktur yang mencapai 24 persen, dan industri jasa mencapai 55 persen.
Untuk mendukung regenerasi petani, menurut Bayu, dibutuhkan branding pertanian yang baik agar pertanian dianggap menarik.
Ketergantungan pada faktor alam atau iklim serta masalah pendapatan yang rendah, kata dia lagi, kerap dianggap sebagai risiko yang banyak dihindari kalangan pemuda.
"Ketika orang tuanya yang sekarang menjadi petani justru melarang anak-anak mereka untuk menjadi petani, dan ini menjadikan masalah semakin kompleks," ujar dia.
Bayu menuturkan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan petani mengantisipasi serta mengurangi dampak perubahan iklim adalah melalui program sekolah lapangan iklim (SLI).
Selain itu, kata Bayu, perlu penguatan sistem informasi iklim dan menyesuaikan pola tanam berdasarkan kondisi setempat
Pengembangan teknologi yang relevan dan menciptakan varietas tanaman yang ramah lingkungan, kata dia, mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, toleran terhadap perubahan suhu, kekeringan, banjir, genangan, dan tingkat salinitas yang tinggi.
"Berbagai tantangan dari sektor pertanian tersebut tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri juga dalam Pemerintahan Indonesia ke depan, sehingga permasalahan swasembada pangan bukan lagi impian tapi menjadi kenyataan," kata dia pula.