REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni menilai, tingginya kasus harian Covid-19 yang pernah menembus 8.369 kasus per hari belum harus direspons dengan pembatasan kegiatan masjid.
Dia menilai, kegiatan masjid masih dapat dilakukan dengan menjalani protokol kesehatan sebagaimana yang disebutkan dalam surat edaran DMI, beberapa waktu lalu. Terlebih, kata dia, klaster masjid (tempat ibadah) bukan menjadi penyumbang terbesar dalam penyebaran Covid-19 di Indonesia.
“Saya rasa belum perlu membatasi kegiatan masjid. Tapi perlu digarisbawahi, edaran DMI itu sifatnya partisipatif ya, bukan kebijakan sebagaimana yang dikeluarkan pemerintah,” kata Imam saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (1/1).
Dia justru menilai, pemerintahlah yang harus mengevaluasi segala kebijakan yang pernah dikeluarkan. Sejauh perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia, Imam menilai pemerintah justru sering mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif atas dalih pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang kerap membuka-tutup pembatasan sosial dan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi faktor krusial maraknya penyebaran Covid-19. Dia pun mengatakan, kebijakan pemerintah yang cenderung tak konsisten justru tidak efisien dalam menumbuhkan ekonomi atau menekan kasus penyebaran Covid-19.
Di sisi lain, ia menjelaskan, klaster masjid meski berkontribusi terhadap penularan Covid-19, namun kontribusinya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan klaster perkantoran atau pasar. Padahal berdasarkan fakta, pada ritual sholat Jumat saja diperkirakan ada 150 juta umat Muslim yang menunaikannya.
“Jumlahnya (jamaahnya) besar, tapi klaster masjid tidak menjadi yang signifikan dalam penularan kan? Kalaupun ada penularan di masjid, itu karena ada segelintir jamaah yang tidak patuh prokes,” ujarnya.