REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Muslim Muhamad Halifah atau lebih dikenal dengan Kiai Modjo merupakan seorang ulama pejuang yang menentang kekuasaan Belanda pada era 1825-1830 atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro.
Pemerintah Belanda beberapa kali mengirim surat atau perantara kepada Kiai Modjo agar berdamai dengan penjajah. Jika mau berdamai, pemerintah Belanda pun menjanjikan kepada beliau akan diberikan kedudukan dan jabatan.
Namun, dengan semangat kepahlawanan Kiai Modjo dan tekad mengusir Belanda dari Pulau Jawa pada masa itu, segala bujukan Belanda itu pun ditolaknya.
Pada akhir 1828, Kiai Modjo kemudian ditangkap melalui suatu tipu muslihat dan dibuang ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Selama berada di pengasingan, Kiai Modjo menikah dengan penduduk setempat dan mempunyai keturunan hingga saat ini.
Informasi tersebut disampaikan keturunan generasi ketujuh yang saat ini merawat makam Kiai Modjo di kampung jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Dalam masa pengasingannya, Kiai Modjo ditemani 62 orang pengikutnya yang kesemuanya adalah pria. Mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema Kecamatan Kauditan daerah pantai Timur Minahasa pada 1829.
Kiai Modjo dan pengikutnya pertama kali ditempatkan pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema. Selanjutnya mereka dipindahkan ke sebelah utara yaitu di kawasan Tasikoki atau Tanjung Merah. Alasan mereka dipindahkan karena Tasikoki adalah daerah yang berawa serta dekat dengan Gunung Klabat.
Selanjutnya, Kiai Modjo dan pengikutnya dipindahkan lagi di sebelah barat Sungai Tondano. Kemudian mereka pindah lagi ke daerah Kawak, yang letaknya sekarang berada di belakang Masjid Kampung Tegal Rejo. Selanjutnya, mereka pindah ke perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Jawa. Perpindahan itu dilakukan atas pertimbangan pemerintah Belanda agar Kiai Modjo dan pengikutnya tidak dapat lagi melarikan diri.
Kiai Modjo dan pengikutnya menempati daerah hutan belukar dan berawa, namun tidak semua mereka kelola, sebagian tanah yang diberikan pemerintah Belanda tersebut diambil penduduk pribumi.
Kemudian, berdirilah perkampungan Wulauan dan perkampungan Marawas pada 1897. Hal tersebut diperkuat dengan bukti sejarah bahwa pekuburan orang-orang Jawa dan Kiai Modjo beserta pengikutnya terletak di Kampung Wulauan yang berada di sebelah timur Kampung Jawa.
Dalam pengasingannya tersebut, selain Kiai Modjo terdapat pula beberapa ulama, antara lain Kiai Teuku Madja, Tumenggung Pajang, Pati Urawan, Kiai Baduran, dan Kiai Hasan Bedari.
Pada Desember 1949, Kiai Modjo wafat dan dimakamkan di Desa Wulauan Kecamatan Tondano. Makamnya terletak di atas sebuah bukit yang diberi nama Tondata, jaraknya kurang lebih 1 Kilometer dari Ibukota Kabupaten Minahasa, Tondano.