Kamis 07 Jan 2021 05:11 WIB

Misteri Hilangnya Tahu-Tempe dan Kitab Al Filaha

Tahu-Tempe dan Kitab Al Filaha

Kitab Al Filaha
Foto: google.com
Kitab Al Filaha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek Panji Astuti, Penulis dan traveler.

Pekan pertama di bulan Januari ini kita diributkan dengan kabar menghilangnya tempe dan tahu dari pasar. Ini bukan kali pertama sebenarnya. Dari tahun ke tahun selalu berulang kejadian yang sama.

Pangkal masalahnya adalah melonjaknya harga kedelai impor yang menjadi bahan baku makanan yang diandalkan sebagai sumber protein mayoritas rakyat Indonesia ini.

Logikanya jadi aneh memang. Tempe dan tahu dianggap sebagai makanan rakyat. Nyaris di setiap meja makan terhidang menu itu setiap hari, karena dianggap paling murah dibanding sumber protein hewani.

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: khazanah

Filename: helpers/all_helper.php

Line Number: 4248

Tapi, di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini petaninya tak mampu menghasilkan kedelai yang bisa digunakan sebagai bahan baku tahu dan tempe.  

Apa yang salah?

Padahal ayat-ayat  Alqur’an sudah sangat jelas. Salah satunya, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu [QS 'Abasa 25-27].

ISLAMIC AGRICULTURE | Generasi Salafus Sholeh

Kedelai termasuk biji-bijian yang “dijamin” ditumbuhkan di atas bumiNya. Secara teori pertanian pun, biji-bijian termasuk tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk tumbuh.

Rasanya hampir mustahil bumi Indonesia tidak bisa menghasilkan kedelai yang mencukupi, baik secara kualitas maupun kuantitas untuk bahan baku tahu dan tempe.

Curah hujan di negeri ini lebih dari cukup untuk menyuburkan tanahnya. Daerah yang dianggap paling tandus sekalipun, seperti NTT, curah hujannya masih 1.000 mm/tahun. Lalu di Jawa, seperti Gunung Kidul masih 1.900 mm/tahun.

Bandingnya dengan curah hujan di Andalusia yang hanya 650 mm/tahun. Namun tanahnya bisa diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan panen empat kali setahun. 

Sesuatu yang tidak terbayangkan oleh masyarakat Eropa pada masa itu yang hanya mampu panen setahun sekali, bahkan di beberapa tempat ada yang dua tahun sekali. 

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement