REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang menjadi salah satu negara yang terus berjuang keluar dari pelonjakan kasus selama masa pandemi Covid-19. Pandemi ini pun mempengaruhi Olimpiade Tokyo dan Paralimpiade 2020 yang akhirnya diputuskan untuk ditunda.
Diundurnya kedua ajang olahraga terbesar di dunia ini bukan hanya menelan kerugian materi saja. Tapi juga menimbulkan kekhawatiran baru yang lebih besar dari pandemi Covid-19, yakni pertandingan digelar saat musim panas.
Musim panas di Tokyo bukan hanya menjadi ancaman bagi penyelenggara, tapi juga keselamatan nyawa bagi para atlet, penyelenggara, relawan, hingga penonton. Suhu maksimum saat Juli dan Agustus atau saat terselenggaranya Olimpiade bisa mencapai 30 derajat celcius.
Keresahan yang muncul membuat Komite Olimpiade Internasional memutuskan lomba maraton dan jalan kaki ditiadakan di Sapporo. Namun keputusan itu mendapat kecaman dari pemerintah lokal dengan alasan pertandingan bisa diselenggarakan pada pagi hari.
Kondisi musim panas di Tokyo memang tidak biasa. Dalam badan meteorologi setempat, pada 1 Agustus kemarin musim panas membuat suhu mencapai 32 derajat dengan kelembaban udara mencapai 81 persen. Tak lama berselang, otoritas setempat mengeluarkan peringatan gelombang panas di daerah Tokyo.
"Jika Olimpiade diadakan, banyak atlet dan penonton akan terpapar pada perubahan suhu dan kelembapan yang tiba-tiba dengan berpindah secara cepat antara ruangan ber-AC ke luar ruangan yang panas dan lembab. Itu adalah situasi di mana orang bisa sakit," ungkap ahli prediksi cuaca, Mori dilansir dari laman Japan Times.