REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Polisi mulai menangkap demonstran yang menentang kudeta yang dilakukan militer. Polisi menahan pembantu veteran Aung San Suu Kyi dan puluhan orang yang telah bergabung dalam demonstrasi menentang kudeta pada Senin (1/2).
Di kota terbesar, Yangon, para pendukung menggantung pakaian merah, pita, dan balon di luar rumah mereka untuk menunjukkan dukungan. “Kami meletakkan balon merah di seluruh jalan,” kata Myint Myint Aye.
“Ini adalah kampanye tanpa kekerasan. Kami ingin menunjukkan kepada para diktator bahwa kami semua bersama Ibu Suu," ujar warga Myanmar ini menunjukan dukungan pada Aung San Suu Kyi yang ditangkap sejak kudeta dimulai.
Atas berkembang protes anti-kudeta, pihak berwenang juga mulai meningkatkan tindakan. Di kota kedua Myanmar, Mandalay, 30 orang ditangkap karena protes keras yang telah berlangsung selama tiga malam terakhir.
Eleven Media mengutip wakil kepala kepolisian daerah, Maung Maung Aye, mengatakan bahwa mereka dituduh melanggar undang-undang. Orang yang ditangkap menyebabkan keributan di jalan-jalan umum.
Win Htein (79 tahun) pendukung Suu Kyi yang telah berulang kali dipenjara selama puluhan tahun berjuang melawan junta sebelumnya mengaku tak takut.
"Saya tidak pernah takut pada mereka karena saya tidak melakukan kesalahan apa pun sepanjang hidup saya," kata Htein.
Tidak ada orang yang turun ke jalan di negara dengan sejarah berdarah penumpasan protes. Namun, ada tanda-tanda penentang kudeta diawali oleh sekelompok dokter dan tenaga kesehatan yang menilai kudeta menghambat penanganan Covid-19.
Penolakan itu akhirnya menyebar ke beberapa kantor pemerintah. Guru menjadi kelompok terbaru yang bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil pada Jumat (5/2). Beberapa dosen menolak untuk mengajar atau bekerja sama dengan pihak berwenang atas kudeta yang menghentikan transisi panjang dan tidak stabil menuju demokrasi.