REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki; Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL), Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta
Pada awal 2021, dari Januari sampai Februari awal, bencana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia terasa bertubi-tubi. Dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir bandang.
Pandemi Covid-19 yang belum juga usai, terlebih Indonesia belum melewati gelombang pertama wabah seperti negara-negara lain. Pandemi Covid-19 ini telah menjadi induk bencana yang melahirkan bencana lainnya: PHK, pengangguran, dan bertambahnya kemiskinian.
Walhasil, bangsa ini hingga awal bulan Februari sedang berada di pusaran bencana! Lalu, di mana peran ulama? Apa hanya cukup memberikan tausiyah?
Pelatihan untuk para pelatih, training of trainers (TOT), "Pendampingan Tokoh Agama dalam Penanggulangan Bencana-Dukungan Psikososial", yang saya ikuti selama tiga hari (26 - 28 Januari 2021) telah memberikan wawasan baru kepada para peserta tentang peran tokoh agama dan ulama yang sangat penting ketika terjadi bencana, terutama dalam tindakan psikososial untuk penyintas atau korban bencana.
TOT yang digelar Wahana Visi Indonesia yang didukung USAID ini menghadirkan narasumber berpengalaman dalam menangani korban bencana, ulama, psikolog, dan aktivis. Tujuannya agar peserta dapat melakukan tindakan psikososial jika terjadi bencana.
Pengertian psikososial adalah hubungan dinamis antara aspek psikologi dan sosial. Masing-masing saling berinteraksi dan mempengaruhi secara berkelanjutan. Sedangkan tindakan psikososial adalah memberi bantuan secara psikologi kepada individu dan komunitas atau kelompok.
Tindakan psikososial ini penting dilakukan ketika terjadi bencana dan pascabencana karena pihak yang paling menderita akibat bencana adalah penyintas, korban yang hidup atau keluarga yang ditinggalkan. Kondisi psikologi mereka sangat terdampak bahkan sampai tingkat trauma dan depresi.
Para penyintas ini tak hanya memerlukan kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan, tetapi juga pemulihan psikologis melalui tindakan psikososial oleh pihak yang memiliki kompetensi. Dari hasil survei yang disampailan pada TOT ini membuktikan bahwa peran tokoh agama, ulama, sangat diperlukan. Peran mereka sangat membantu korban bencana yang masih hidup untuk memulihkan kondisi psikologi walau trauma dan depresi memang tak dapat ditangani oleh ulama, tetapi harus ditangani oleh psikolog atau psikiater.
Dalam tindakan psikososial, ulama dapat melakukan dukungan psikologi awal (DPA). DPA adalah serangkaian keterampilan untuk mengurangi dampak negatif stres dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan. Karenanya, DPA bisa dilakukan oleh bukan konseling profesional, bisa oleh tenaga non-ahli.
Namun, untuk dapat melakukan DPA ini, ulama harus memiliki kompetensinya. Minimal, ada delapan kompetensi. Pertama, dapat memberikan pemahaman, menginterpretasikan, terhadap kitab suci secara relevan dan tanggung jawab.
Kedua, memiliki kepemimpinan yang akuntabel dan berintegritas. Mampu mempertanggungjawabkan setiap interaksi yang dia lakukan. Adanya keselarasan antara yang dia pikirkan, ucapkan, dan tindakan yang dilakukan. Dia menguasai informasi dan mampu memberikan informasi di atas mimbar dan media lainnya tentang kebencanaan.
Ketiga, pemahaman dasar tentang kebencanaan. Seperti tahu tentang apa itu bencana, apa itu fase-fase kebencanaan.
Keempat, kesiapsiagaan yang komperhensif, yaitu kemampuan tokoh agama dalam mengindentifikasi sumber-sumber kesiapsiagaan bencana, seperti hal-hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat, memberikan peringatan, dan dapat memberi edukasi bencana kepada masyarakat.
Kelima, interaksi masyarakat yang bermakna, yaitu kemampuan melakukan mobilisasi, menghubungan sumber daya dari komunitas agama kepada pihak lain yang terkait, dan memiliki interaksi masyarkat yang bermanfaat. Kemampuan menjadi penghubung: mempunyai nomor kontak BNPB, camat, lurah, RW, dan lain-lain.
Keenam, pemahaman srategi dukungan psikososial. Tokoh agama bukanlah sosok yang dapat memenuhi semua kebutuhan korban bencana, tetapi mereka dapat memberi dukungan psikososial kepada korban, penyintas keluarga, dan atau masyarakat.
Ketujuh, memahami DPA dan aplikasinya. Kedelapan, menguasai pemahaman tentang kerentanan bahwa penyintas mendapatkan dampak negatif dari bencana, sangat terpukul, stres bahkan depresi. Ulama bisa melakukan tindakan agar penyintas diajak mengingat Allah SWT, memperbanyak zikir, dan lain-lain.
Akhir kalam, tentu kedelapan kompetensi ini dapat dimiliki oleh ulama melalui pendidikan dan pelatihan, seperti TOT yang diselenggarakan Wahana Visi Indonesia dengan dukungan USAID. Diharapan TOT seperti ini bisa diadakan lebih banyak dan lebih intens lagi untuk alim ulama di berbagai daerah rawan bencana. Jazaakumullaah khairan.