Selasa 09 Feb 2021 16:33 WIB

Iran Rayakan Ulang Tahun ke-42 Sejak Revolusi Islam

Revolusi Islam dirayakan Iran.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
 Tentara Iran berdiri di samping foto besar mendiang pendiri Iran dari Republik Islam, Ayatollah Ruhollah Khomeini dalam sebuah upacara dalam rangka peringatan 42 tahun kembalinya Khomeini dari pengasingan dari Paris, di makamnya di Teheran selatan, Iran, Ahad (31/1/2021). Iran akan merayakan ulang tahun revolusi ke-42 pada 10 Februari 2021.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Tentara Iran berdiri di samping foto besar mendiang pendiri Iran dari Republik Islam, Ayatollah Ruhollah Khomeini dalam sebuah upacara dalam rangka peringatan 42 tahun kembalinya Khomeini dari pengasingan dari Paris, di makamnya di Teheran selatan, Iran, Ahad (31/1/2021). Iran akan merayakan ulang tahun revolusi ke-42 pada 10 Februari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Warga Iran di seluruh dunia akan memperingati 42 tahun Revolusi Islam 1979, tepatnya 11 Februari nanti. Revolusi ini ditandai sebagai momen yang mengguncang dunia dan mendominasi urusan internasional sejak saat itu.

Rakyat Iran yang dipimpin oleh pemimpin spiritual Imam Khomeini, tidak hanya menggulingkan Shah, boneka AS, tetapi juga memulai jalan untuk membuat negara itu benar-benar independen dari kebijakan yang menindas dan eksploitatif, dari semua kekuatan tirani, terutama Amerika Serikat.

Baca Juga

Dilansir di The Star, Selasa (9/2), kepekaan baru Iran terhadap kemerdekaan dan penolakannya terhadap hegemoni maupun kemenangan republik Islam tidak pernah dicerna dan dimaafkan oleh pemerintahan AS berturut-turut. Hal ini selalu dianggap sebagai kerugian strategis oleh Washington.

Presiden Hassan Rouhani, selama unjuk rasa ulang tahun revolusi Islam tahun lalu di Teheran, telah mengungkap perihal keberatan ini. "Konflik antara Iran dan AS adalah tentang hak Iran untuk memilih. Orang Amerika percaya bangsa ini tidak memiliki hak untuk memilih Revolusi Islam daripada sistem kerajaan yang dipasang AS di Iran," katanya.

Dengan tidak menerima kenyataan atas perubahan di Iran, AS telah terperangkap dalam rantai asumsi yang salah, konsep yang buruk, analisis yang menyesatkan, dan kebijakan yang pada akhirnya merusak. Semua langkah ini mengakibatkan obsesi ganas AS terhadap Iran, yang meningkat sepenuhnya oleh mantan Presiden Donald Trump.

Trump keluar dari kesepakatan perjanjian nuklir pada Mei 2018. Selanjutnya, ia memberlakukan serangkaian sanksi ilegal terhadap Republik Islam Iran, yang menargetkan institusi serta individu. Sanksi itu menyebabkan penderitaan yang sangat besar bagi rakyat Iran yang tidak bisa mendapatkan obat-obatan.

Kedatangan Joe Biden sebagai Presiden AS yang baru dipandang sebagai sebuah optimisme di Teheran. Dia pernah bertugas di pemerintahan Barack Obama, yang menandatangani pakta nuklir bersejarah dengan Teheran pada 2015.

Pada 2020, Joe Biden menyatakan kesediaannya untuk kembali ke kesepakatan itu, setelah hampir tiga tahun Trump memutuskan keluar dari perjanjian.

Saat ini, Iran telah menjadi negara yang kuat di kawasan tersebut. Para analis politik percaya, rahasia di balik ketahanan revolusi adalah dukungan yang sangat besar dari masyarakat.

Bukan prestasi kecil bagi sebuah republik untuk mempertahankan jalur geopolitik independennya selama 42 tahun, terlepas dari tekanan diplomatik, ekonomi dan militer yang luar biasa, yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.  

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement