REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Suatu hari, Nabi Muhammad SAW memutuskan pergi ke Thaif berharap penduduk di sana ingin mengikuti jejaknya dan membelanya dari tindakan kaum Quraisy yang musyrik.
Dengan santun dan baik-baik, Rasulullah mengajak para penduduk agar beriman kepada Allah. Rasulullah pergi besama Zaid bin Haritsah.
Sayangnya, sikap penduduk tidak menolong Rasulullah dan bahkan ikut memusuhinya. Beberapa perlakuan mereka lebih kejam daripada kaum Quraisy.
Dijelaskan dalam buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Rasulullah dan Zaid berada di Thaif selama sepuluh hari.
Rasulullah berusaha menemui setiap tokoh masyarakat untuk diajak memeluk Islam. Rasulullah berbicara baik-baik tapi ucapan yang sering terdengar adalah, “Keluarlah dari negeri kami!”
Selain mengusir Rasulullah, penduduk juga melempari Rasulullah dan Zaid dengan batu sampai telapak kakinya berdarah. Sementara itu, Zaid yang melindungi Rasulullah harus rela mengalami luka memar di kepalanya.
Sepulang dari Thaif, Rasulullah sangat sedih. Dalam perjalanan pulang itu, Rasulullah memanjatkan doa yang terkenal pada orang-orang Thaif. Berikut doa yang beliau ucapkan:
“Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan betapa lemah kekuatanku, betapa minim siasatku, dan betapa ringkihnya aku terhadap manusia, wahai Tuhan Yang Mahapenyayang di antara para penyayang. Engkau adalah Rabb orang-orang yang tertindas. Engkaulah Rabbku. Kepada siapa Engkau serahkan aku? Apakah kepada orang asing yang akan menyerangku atau kepada musuh Engkau biarkan urusanku dikuasainya? Aku tidak peduli Engkau murka padaku karena aku tahu ampunan-Mu jauh lebih luas daripada murka-Mu. Dengan cahaya pad wajah-Mu yang mampu menyinari segenap kegelapan dan yang membuat baik urusan dunia serta akhirat, aku berlindung jangan sampai aku membuat Engkau murka kepadaku. Betapa aku selalu menginginkan keridhaan-Mu. Dan tidak ada daya serta kekuatan sama sekali tanpa pertolongan-Mu.”
اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك
Kemudian Allah mengirim malaikat penjaga gunung menemui Rasulullah. Dia ingin Rasulullah menyuruhnya agar menjatuhkan dua gunung sekaligus kepada penduduk Makkah. Namun, dengan santunnya Rasulullah menjawab, “Tidak. Aku mohon mereka diberi tangguh waktu. Kedepannya, mudah-mudahan Allah berkenan melahirkan dari mereka generasi yang akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apa pun.”