REPUBLIKA.CO.ID,GAZA -- Hakim Islam tertinggi di Gaza pada Selasa (16/2), sepakat untuk merevisi putusan pengadilan baru-baru ini yang melarang perempuan bepergian tanpa izin dari wali pria seperti suami atau ayah. Perubahan ini terjadi berkat dorongan aktivis dan protes atas pelanggaran terhadap hukum.
Pembatasan yang diberlakukan pada Ahad (14/2) oleh Dewan Tinggi Syariah di Gaza yang dikuasai Hamas. Aturan tersebut telah menuai kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi yang mengatakan itu melanggar hukum Palestina terhadap penindasan berbasis gender. Protes juga meletus di luar kantor ketua dewan yang ditunjuk Hamas, Hassan Jojo, yang telah menandatangani dekrit menjadi undang-undang.
"Kami telah setuju untuk menyusun ulang keputusan ini," ujar Jojo pada Selasa.
Jojo tidak mengatakan jika bahasa yang melarang perjalanan perempuan tanpa persetujuan wali pria akan dihapus. Para pemimpin Hamas pun telah berulang kali membantah niat untuk menerapkan hukum Islam pada 2 juta penduduk Jalur Gaza.
Kelompok hak asasi Palestina yang berkantor di Gaza dan Tepi Barat,
Komisi Independen Hak Asasi Manusia (ICHR), mengatakan putusan Ahad itu melanggar martabat dan hak-hak perempuan. Aturan tersebut menempatkan mereka pada tingkat yang lebih rendah dalam masyarakat.
ICHR juga mencatat peraturan Palestina melarang diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, pendapat politik, atau disabilitas. Analis politik Palestina dan pakar hak-hak wanita, Reham Owda, mengatakan keputusan itu mungkin bertujuan untuk membendung peningkatan baru-baru ini dari perempuan Gaza yang mencari pekerjaan di luar wilayah pantai kecil.
"Pemerintah di Gaza ingin membatasi (perjalanan) dan membatasi pergerakan perempuan yang berambisi untuk pergi mencari studi atau pekerjaan, dan melarikan diri dari blokade Israel," kata Owda.