Rabu 17 Feb 2021 20:34 WIB

Polri Ungkap Penyimpangan Rp 2 Triliun Dana Otsus Papua

Penyimpangan dana Otsus Papua ditemukan dalam laporan BPK.

Rep: Bambang Noroyono, Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Aliansi Mahasiswa Papua Barat (AMPB) menggelar aksi unjuk rasa mendukung Otonomi Khusus (Otsus Papua) di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Foto: Eva Rianti
Aliansi Mahasiswa Papua Barat (AMPB) menggelar aksi unjuk rasa mendukung Otonomi Khusus (Otsus Papua) di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan keuangan negara setotal lebih dari Rp 2 triliun dalam penyelenggaran otonomi khusus (otsus) di Papua dan Papua Barat. Karo Analisis Intelkam Mabes Polri Brigjen Achmad Kartiko mengatakan, dugaan penyelewengan dana otsus tersebut dikatakan sebagai salah satu permasalahan hukum dalam penyelesaian beragam persoalan di Bumi Cenderawasih.

Kartiko mengatakan, Polri mencatat dana otsus yang digelontorkan ke Papua dan Papua Barat setotal Rp 93 triliun dan Rp 33 triliun. Dana otsus tersebut dikatakan untuk penyelesaian konflik di tanah Papua, dan kesejahteraan masyarakat di sana.

Baca Juga

“Namun ada permasalahan penyimpangan anggaran,” kata Kartiko, dalam pemaparan isu-isu konflik nasional dalam rapat pimpinan (rapim) Polri, di Jakarta, Rabu (17/2).

Kartiko menerangkan, penyimpangan tersebut, ditemukan dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Temuan BPK, menemukan adanya pemborosan, ketidakefektifan penggunaan anggaran,” terang Kartiko.

Bahkan, kata dia, berdasarkan temuan BPK tersebut, dikatakan adanya praktik memperkaya diri sendiri dalam bentuk penggelembungan anggaran belanja yang diambil dari dana otsus. Pun pembayaran fiktif.

Mark up (penggelembungan) dalam pengadaan tenaga kerja, tenaga listrik, dan tenaga surya. Kemudian pembayaran fiktif dalam pembangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air),” kata Kartiko.

Ia menerangkan, dalam pembayaran fiktif pembangunan PLTA tersebut, ditemukan penggunaan dana otsus dalam proyek manipulasi sekitar Rp 9,67 miliar. “Ditemukan juga penyelewenangan dana (otsus) sebesar lebih dari Rp 1,8 triliun,” ungkap Kartiko.

Penyimpangan, dan indikasi praktik korupsi dalam penggunaan dana otsus Papua tersebut, menurut Kartiko menjadi salah satu permasalahan hukum, dalam penyelesaian konflik di Bumi Cenderawasih. Selain itu, terkait isu Papua, Polri, pun dikatakan dia merekam aksi-aksi penolakan perpanjangan otsus di Bumi Cenderawasih.

“Yang menyuarakan kontra untuk supaya otsus tidak diperpanjang, ada 45 organisasi,” kata Kartiko.

Kelompok-kelompok yang disebut menyuarakan perpanjang otsus, terekam menggalang opini, dan mengkampanyekan aksi pembangkangan sipil. “45 organisasi penggerek agenda tersebut berupa mogok sipil nasional, yang membentuk petisi rakyat Papua untuk menolak otsus Papua,” kata Kartiko.

UU Otsus Papua 2001 memang akan berakhir pada 2021. Pemerintah berencana untuk memperpanjang pemberlakukan legislasi khusus untuk masyarakat di Bumi Cenderawasih tersebut tahun ini.

Mantan Komisioner Komnas HAM, yang juga tokoh Papua, Natalius Pigai pada Rabu (17/2), menyambangi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam pertemuan tersebut, Pigai menyampaikan rekomendasinya terkait UU Otsus Papua.

"Kami merekomendasikan kepada Bapak Presiden Ir. Joko Widodo untuk membekukan pelaksanaan UU otsus Papua Nomor 21 tahun 2001 pada tahun 2021 ini sebelum melakukan perundingan dengan rakyat Papua," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (17/2).

Pigai menambahkan, sebelum perundingan itu dilaksanakan, pemerintah dapat mengeluarkan Perppu terkait Papua. Perundingan itu bisa  dilaksanakan mulai sekarang sampai 2024.

"Hasil perundingan akan menentukan status Papua selanjutnya," ujarnya.

Menurut pandangannya, UU Otsus Papua No. 21 tahun 2021 telah berlangsung selama 20 tahun. Namun dalam implementasinya belum efektif dan efisien. Karena itu menurut Pigai, berkaitan dengan berakhirnya pemberlakuan undang-undang otsus, rakyat Papua menolak secara tegas untuk melanjutkan kebijakan otsus Papua tersebut.

Menurut Pigai, melanjutkan status otonomi khusus Papua, dan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua serta kebijakan turunan terkait lainnya bukan lagi kebijakan yang perlu untuk dilaksanakan oleh pemerintah dalam waktu-waktu ke depan.

"Kebijakan seperti Itu sudah tidak relevan pada era modern di Papua," ucapnya.

Pigai sangat mengharapkan agar pemerintah dapat mengadakan perundingan dengan masyarakat Papua. Sebelumnya Pigai menyambangi Fraksi Partai Demokrat. Rencananya dirinya akan safari ke seluruh fraksi di DPR.

"Iya lagi diusahakan," katanya kepada Republika.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement