REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritisi kinerja DPR baik dari fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2020-2021 lalu. Peneliti Formappi I Made Leo Wiratma mengatakan, kinerja DPR pada masa sidang III kemarin masih sama dengan kinerja DPR pada masa sidang tahun sebelumnya yang kerap dinilai buruk.
"DPR gagal menjadikan Masa Sidang III sebagai momentum untuk membangkitkan optimisme dalam meningkatkan kinerja legislasi," kata Made dalam konferensi pers, Ahad (7/3).
Made mengatakan, ada banyak alasan yang menyebabkan buruknya kinerja legislasi DPR di Masa Sidang III mulai dari tata kelola perencanaan yang buruk, hingga sabotase kepentingan politik yang menghambat laju pengesahan Prolegnas Prioritas. "Perencanaan yang buruk di bidang legislasi ditandai oleh belum rampungnya DPR menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas yang seharusnya sudah disahkan pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2020-2021," ujarnya.
Kemudian, Made menilai kinerja DPR dalam fungsi anggaran juga kacau. Dari 11 komisi di DPR, hanya delapan komisi yang melakukan evaluasi pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2020 oleh Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian (K/L). Sementara tiga komisi DPR yang tidak melakukan evaluasi pelaksanaan anggaran TA 2020 terhadap K/L mitra kerjanya yaitu Komisi II, IX dan XI.
Selain itu, Made menilai DPR kurang tegas terhadap sikap pemerintah yang mengubah struktur anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBN 2021 dengan tidak melibatkan DPR. Ia mengungkapkan, perubahan anggaran oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak direspons secara kritis oleh DPR meski hak konstitusionalnya telah dilanggar.
"Bahkan nampak nurut saja," ucapnya.
Ia berharap, ke depan DPR dapat menggunakan hak budgetnya secara kritis, dan berani menolak anggaran mitra kerja yang dikurangi seenaknya sendiri oleh Menteri Keuangan. "Amputasi terhadap kekuasaan konstitusional dalam bidang anggaran harus dipulihkan, sebab kalau tidak, DPR akan makin tidak berdaya," kata dia.
Di bidang pengawasan, Made memandang pengawasan yang dilaksanakan DPR selama Masa Sidang III lalu hanya dilakukan secara ala kadarnya. Adanya desakan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang meminta kepada Presiden untuk menunda pelaksanaan aturan turunan UU Ciptaker menunjukan bahwa DPR gagal memperjuangkan aspirasi dan kepentingan tenaga kerja kepada pemerintah.
Selain itu, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan DPR terhadap calon-calon pejabat publik juga dinilai tidak dilakukan secara kritis. Bahkan, sebagian fit and proper test dilakukan secara tertutup sehingga rentan memunculkan dugaan liar di masyarakat.
"Untuk menghindarkan munculnya dugaan-dugaan negatif tersebut, seyogianya seluruh tahapan fit and proper test dilaksanakan secara terbuka," tuturnya.