REPUBLIKA.CO.ID, SIRTE -- Parlemen Libya memilih menyetujui pemerintah nasional bersatu yang pimpin oleh Perdana Menteri Abdulhamid Dbeibeh, Rabu (10/3). Hal itu sebagai bagian dari rencana yang didukung PBB untuk menyelesaikan satu dekade kekacauan dan kekerasan dengan pemilu pada Desember.
Lebih dari 100 anggota parlemen yang terpecah memilih mendukung pemerintahan Dbeibeh dalam sidang yang jarang terjadi di kota garis depan Sirte, dengan hanya beberapa suara yang menentang. Persetujuan itu menjadi peluang terbesar selama bertahun-tahun mengakhiri konflik Libya. Akan tetapi rintangan besar masih ada dalam menyatukan pemerintahan saingan Libya dan dalam mempersiapkan pemilu nasional yang adil.
Gaya penunjukan Dbeibeh sendiri dan kapasitas kabinetnya yang ekspansif menuai kritikan di Libya dengan tuduhan korupsi dan pengaruh menjajakan. Kedua tuduhan itu dapat dimanfaatkan oleh para pembocor untuk menolak legitimasinya.
Libya selama bertahun-tahun terpecah belah antara Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) di Tripoli dan pemerintah saingan Militer Nasional Libya pimpinan Khalifa Haftar di wilayah timur.