Kamis 11 Mar 2021 12:34 WIB

Impor Beras, Guru Besar IPB Ingatkan Kepedulian pada Petani

Kebijakan impor beras benar-benar tidak memperhatikan kepentingan petani

Guru Besar IPB, Profesor Muhammad Firdaus, menyinggung rencana kebijakan impor beras 1 juta ton yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja.
Foto: IPB
Guru Besar IPB, Profesor Muhammad Firdaus, menyinggung rencana kebijakan impor beras 1 juta ton yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar IPB, Profesor Muhammad Firdaus, menyinggung rencana kebijakan impor beras 1 juta ton yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja. Kata dia, kebijakan itu benar-benar tidak memperhatikan kepentingan petani karena ada dua pasal, yakni pasal 14 dan 36 yang secara gamblang mempertegas untuk tidak melakukan kebijakan impor.

"Saya mengingatkan saja bahwa kepedulian kita terhadap petani itu dipertegas oleh UU Cipta Kerja. Ada dua pasal yang secara eksplisit menyatakan bahwa impor pangan atau pangan pokok harus memperhatikan kepentingan petani dan lainya," ujar Firdaus, dikutip dari siaran pers, Kamis (11/3).

Baca Juga

Firdaus mengatakan, ketentuan impor dalam UU Cipta Kerja pada pasal 14 disebutkan bahwa sumber penyediaan pangan tetap diprioritaskan dari produksi dalam negeri dan memperhatikan kepentingan petani, nelayan dan juga para pelaku usaha pangan mikro dan kecil. "Kedua pasal itu secara eksplisit menyatakan bahwa impor pangan atau pangan pokok benar-benar harus memerhatikan kepentingan petani," katanya.

Berikutnya, Prof Firdaus meminta pemerintah untuk menghitung secara benar berapa jumlah stok beras yang sesungguhnya. Hitungan tersebut harus meliputi jumlah stok di Perum Bulog, stok di horeka, stok di tiap rumah tangga, stok di penggilingan dan stok yang ada di para petani Indonesia.

"Semua ini harus dihitung betul dengan cermat dan ini yang nanti harus jadi kesepakatan semua pihak, tentunya ada keterwakilan petani, sehingga nanti rencana impor jadi atau tidaknya sangat ditentukan oleh data ini," katanya.

Prof Firdaus juga mempertegas bahwa kebijakan impor belum tepat untuk dilakukan, mengingat semua prediksi baik di BPS maupun FAO menyebutkan bahwa produksi pangan di tahun 2021 akan lebih baik dibandingkan produksi tahun 2020. "BPS merilis dan kelihatannya kebutuhan pangan kita cukup. Jadi tidak perlu impor. Kedua kalau kita mempelajari persiapan sampai akhir tahun. BPS dan FAO juga menunjukan data, dimana produksinya positif, perkiraannya lebih baik dibanding 2020," katanya.

Secara teoritis, kata Prof Firdaus, beras adalah permintaan yang sangat elastis karena berkategori bahan pokok. Dengan begitu, kondisi dan ramalan yang ada, baik dari FAO maupun BPS perlu dipertimbangkan untuk sebuah pengambilan kebijakan.

 

"Saya kira kenapa tidak perlu impor karena stok yang ada di masyarakat juga betul-betul harus dihitung secara cermat," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement