REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah resmi mencabut batu bara dari daftar limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun. Muncul pro dan kontra usai keputusan ini. Yang kontra menilai keputusan ini tidak berpihak pada lingkungan. Namun pihak yang mendukung menilai keputusan ini sudah sesuai dengan standar internasional.
Sejumlah negara telah masif memanfaatkan limbah batu bara atau fly ash bottom ash (FABA). Banyak produk yang bisa dihasilkan dari FABA, seperti semen, corn block, dan sejenisnya. Di beberapa negara maju, FABA yang merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bahkan dijadikan pupuk.
“Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini dari sisi infrastruktur. Kalau dari sisi infrastruktur pembangunan jalan massif banget, kalau ini (FABA) bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” kata peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Januarti Jaya Ekaputri, Selasa (16/3).
Januarti menegaskan, bahwa dari sisi regulasi dan pengawasannya, FABA tetap perlu dikontrol kualitasnya. Dia menekankan, dalam jumlah banyak, tentu FABA punya efek bahaya. Namun, jika dikelola dengan standar pemerintah dan internasional, FABA justru bisa digunakan dan punya manfaat ekonomi. Penelitian yang dilakukan Januarti di ITS menuturkan bahwa limbah pembangkit listrik itu bisa bermanfaat.
“Misalnya, kita anggapannya nasi. Nasi kan tidak berbahaya. Tetapi kita dipaksa makan sekali duduk 50 kg, nah itu kan jadi berbahaya. Sekarang pertanyaannya apakah nasi itu beracun? Nasi itu tidak beracun. Tetapi kalau dalam jumlah besar mungkin berbahaya,” jelas dosen ITS Surabaya tersebut.
Pakar kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai keputusan ini tepat. Dia juga menyoroti manfaat FABA yang dikelola teknologi baru.“Sebelumnya FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus.