REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Kasus infeksi virus corona di Jerman meningkat secara eksponensial. Kasus berisiko semakin meningkat jika pemerintah mencabut lockdown. Jumlah kasus per 100.000 yang dilaporkan pada Selasa (16/3) adalah 83,7 atau naik dari 68 pada pekan lalu.
Robert Koch Institute (RKI) mengatakan bahwa metrik bisa mencapai 200 pada pertengahan bulan depan. Seorang ahli epidemiolog di RKI, Dirk Brockmann mengatakan, Jerman berada di gelombang ketiga pandemi. Keadaan ini didorong oleh fakta bahwa pihak berwenang melonggarkan pembatasan dalam beberapa pekan terakhir ketika varian baru virus corona telah menyebar ke sejumlah negara.
“Benar-benar tidak masuk akal untuk bersantai di sini, karena itu akan mendorong pertumbuhan eksponensial ini," ujar Brockmann kepada televisi ARD Jerman.
Kanselir Angela Merkel dan para pemimpin negara bagian menyetujui pelonggaran bertahap pembatasan awal bulan ini. Mereka memberikan kewenangan kepada pihak berwenang untuk memberlakukan kembali pembatasan jika jumlah kasus naik di atas 100 per 100 ribu dalam tiga hari berturut-turut.
Pemerintah dan pihak berwenang akan melakukan pembahasan lebih lanjut terkait pencabutan pembatasan sosial pada 22 Maret mendatang. Pemerintah Berlin memutuskan untuk menunda pelonggaran pembatasan pada Senin (15/3).
Keputusan Jerman untuk menangguhkan vaksin AstraZeneca dapat menunda kemajuan dalam mencapai herd immunity. Keputusan tersebut mengikuti tujuh kasus trombosis di Jerman, termasuk tiga kematian.
Brockmann mencatat bahwa, 1.000 dari sejuta orang telah meninggal karena Covid-19, dibandingkan dengan kemungkinan 1 dari sejuta akibat komplikasi yang terkait dengan vaksin. Sebelumnya, AstraZeneca mengatakan, berdasarkan data analisis keamanannya lebih dari 17 juta dosis vaksin yang diberikan tidak menunjukkan bukti peningkatan risiko emboli paru, trombosis vena dalam, atau tingkat trombosit rendah.
“Dalam kelompok risiko, risiko kematian karena Covid-19 jauh lebih tinggi. Itu berarti kemungkinan kematian karena Covid-19, 100.000 kali lebih besar daripada karena vaksin AstraZeneca,” kata Brockman.