REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Allah memiliki hak prerogatif untuk memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya. Pun demikian, Allah juga memiliki alasan mengapa karunia-Nya tak diberikan kedapa hamba-hamba tertentu.
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam berkata: “Mata a’thaaka asyhadaka birrahu wa mata mana’aka asyhadaka qahrahu, fa huwa fii kulli dzalika muta’arrafun ilaika wa muqbilun biwujudi luthfihi alaika innama yu’limuka al-man’u li’adami fahmika anillahi fihi,”.
Yang artinya: “Saat Allah memberimu sebuah kenikmatan, Dia memperlihatkan kebaikan-Nya padamu. Saat Allah mencegahmu dari pemberian-Nya, Dia memperlihatkan kekuasaan-Nya padamu. Dalam semua kondisi itu, Allah mencoba memperkenalkan Diri-Nya padamu dan mencoba mendatangimu dengan kelembutan-Nya.
Hal yang membuatmu kecewa saat terhalangnya kenikmatan darimu adalah karena engkau belumlah memahami hikmah Allah yang terdapat di dalamnya. (Yakni di dalam ada dan tiadanya sebuah karunia kepada setiap hamba),”.
Dijelaskan bahwa, sifat-sifat kebaikan maupun kuasa dan keperkasaan Allah, sejatinya harus diyakini sebagai karunia dan kasih sayang terbesar bagi segenap makhluk-Nya. Sehingga seorang hamba sudah sepatutnya mensyukuri apapun kondisi yang diberikan oleh Allah SWT.
Secara sederhana, setiap hamba dituntut untuk mengenali Allah SWT melalui sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya. Tak ada jalan lain untuk mengenali Allah, kecuali Allah sendiri yang memperkenalkan Diri-Nya. Baik melalui kebaikan-Nya, maupun melalui kekuasaan-Nya.