REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menanggapi penolakan Habib Rizieq Shihab menghadiri sidang secara virtual, kasus kerumunan dan swab test RS UMMI Bogor. Politikus PDIP itu menegaskan, majelis hakim memiliki kewenangan untuk memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan Rizieq Shihab dengan upaya paksa.
"Majelis hakim punya kewenangan untuk memerintahkan JPU untuk menghadirkan terdakwa dengan upaya paksa dengan bantuan pihak kepolisian," ujar Wayan saat dihubungi, Senin (22/3).
Menurut Wayan, itu dapat dilakukan jika seandainya Rizieq selaku terdakwa masih menolak dan tidak mau hadir dalam sidang yang dilakukan secara virtual. Dia menerangkan, sejatinya semua pihak yang ada di persidangan pengadilan wajib mengikuti penetapan majelis hakim, tidak terkecuali bagi terdakwa.
"Harus menjalankan apa yang diperintahkan majelis hakim, termasuk menjalani persidangan secara virtual. Tapi kalau terdakwa tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, terdakwa punya hak untuk diam dan tidak menjawab sama sekali," katanya.
Wayan menjelaskan, sidang virtual sendiri sebenarnya sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara pada masa pandemi Covid-19. Begitu pula di Indonesia yang sudah sering melaksanakan sidang virtual dalam berbagai kasus.
Sidang virtual dilaksanakan sejak dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2020 dan Nomor 5 tahun 2020. Masing-masing peraturan terbit dengan tanggal 25 September 2020 dan 27 November 2020.
Jika masih ada pihak-pihak yang mencoba meragukan keabsahan dan daya laku Perma Nomor 4 dan Nomor 5 tersebut, Wayan mempersilakan yang bersangkutan untuk mempelajari secara mendalam isi dan jiwa UU Nomor 12 tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, khususnya pasal 7 dan pasal 8.
"Dengan memahami Perma Nomor 4 dan Nomor 5 sebagai lex spesialis atas KUHAP sebagai lex generalis, maka Perma tersebut punya eksistensi dan daya laku yang kuat, karena tidak bertentangan dan tidak bisa dipertentangkan dengan ketentuan ketentuan yang ada dalam KUHAP," jelas Wayan.
Pada intinya, kata dia, pelaksanaan sidang virtual merupakan upaya negara dalam melindungi seluruh rakyat Indonesia. Karena perlindungan terhadap seluruh masyarakat merupakan hukum tertinggi.
Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar, menyatakan, kliennya tetap berpegang teguh pada pendirian untuk terus menolak sidang secara daring (online). Ia menyampaikan, HRS tak akan mau mengikuti sidang daring.
Majelis Hakim menunda persidangan HRS dalam perkara kasus kerumunan untuk mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Keputusan itu diambil karena HRS diam saat ditanyakan apakah akan mengajukan eksepsi atau tidak oleh majelis hakim pada persidangan yang diselenggarakan virtual, Jumat (19/3).
Aziz menyatakan, pihak kuasa hukum dan HRS tak punya persiapan apa-apa untuk agenda sidang lanjutan pada 23 Maret jika tetap diadakan secara daring. HRS, Aziz menambahkan, tetap tak akan menerima pelaksanaan sidang daring.
"HRS dkk tetap akan tolak sidang online dan tidak mengakui sidang online," kata Aziz pada Republika.co.id, Senin (22/3).