Rabu 24 Mar 2021 11:48 WIB

Gadis 7 Tahun Jadi Korban Tentara Myanmar, Protes Berlanjut

Aktivis Myanmar serukan protes hening.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
 Puing-puing dibakar di barikade selama protes melawan kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras yang dilakukan oleh pasukan keamanan semakin keras terhadap demonstran.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Puing-puing dibakar di barikade selama protes melawan kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras yang dilakukan oleh pasukan keamanan semakin keras terhadap demonstran.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Aktivis Myanmar berencana kembali menggelar unjuk rasa antikudeta termasuk protes hening dengan meminta pengusaha menutup toko mereka dan meminta warga diam di rumah. Rencana ini digelar satu hari usai seorang anak perempuan berusia 7 tahun tewas di rumahnya saat petugas keamanan melepaskan tembakan untuk membubarkan demonstrasi di Kota Mandalay.

Pengunjuk rasa pro-demokrasi di distrik komersial Kota Yangon dan Thahton juga menggelar aksi menyalakan lilin. Aksi itu digelar setelah pegawai perusahaan penyediaan upacara pemakaman di Mandalay mengatakan kekerasan petugas keamanan menelan korban termuda sejauh ini.

Baca Juga

Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tewas karena luka tembak. Pada Myanmar Now, saudari anak itu mengatakan tentara menembak ayah mereka tapi anak tersebut sedang duduk dipangkuannya di rumahnya. Dua orang juga tewas dibunuh di distrik tersebut.

Junta militer tidak menanggapi permintaan komentar mengenai peristiwa tersebut. Saat ini unjuk rasa kerap berakhir dengan aksi kejar-mengejar mematikan antara aktivis pro demokrasi dengan tentara. Para aktivis pun mengganti taktiknya dengan menggelar aksi hening.

"Tidak keluar rumah, tidak ada toko yang buka, tidak bekerja, semuanya tutup, hanya untuk satu hari," kata ilustrator dan aktivis, Nobel Aung, Rabu (24/3).

Berdasarkan unggahan di media sosial banyak usaha mulai dari jasa angkutan hingga apotik akan tutup. Kudeta 1 Februari telah memicu kecaman masyarakat internasional karena tidak hanya memperlambat transisi Myanmar menuju negara demokrasi tapi militer juga menggunakan kekerasan mematikan untuk membungkam oposisi.

Baca juga : Jalan Baru Erdogan Melawan Ideologi Ekonomi Ortodoks

Militer berusaha membenarkan kudeta dengan mengklaim pemilu yang dimenangkan partai National League for Democracy (NLD) November 2020 lalu diwarnai kecurangan. Komisi pemilihan umum sudah membantah klaim tersebut. Militer menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemimpin-pemimpin NDL lainnya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement