REPUBLIKA.CO.ID, Wakaf merupakan salah satu praktik filantropi yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW sejak 16 abad silam. Ketika itu, Nabi SAW memberi petunjuk kepada Umar bin Khattab yang memperoleh sebidang tanah di Khaibar.
Umar lantas menghadap Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulullah. Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu. maka apa yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah SAW menjawab, “Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya. “
Kemudian, Umar menyedekahkan tanahnya dan mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. (HR An Nasai).
Empat mazhab fiqih memiliki pendapat berbeda dalam memaknai wakaf. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki definisi tersendiri tentang wakaf. Menurut MUI, wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tesebut. Hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dalam UU 41/2004, wakaf diartikan: perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Permasalahan yang lazim dihadapi dalam dunia wakaf yakni adakalanya tanah yang diniatkan oleh wakif untuk diwakafkan telantar karena tidak ada dana untuk membangun. Penyebab lainnya, niat wakif yang kurang kuat karena telah tersedia sarana yang sama di sekitar lingkungan tanah wakaf.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam fatwanya tentang tanah wakaf yang telantar menjelaskan, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berinfak (termasuk wakaf). Islam juga memberikan penghargaan yang sangat tinggi nilainya kepada wakif (pewakaf). Anjuran itu antara lain terdapat dalam firman Allah: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [QS. Ali ‘Imran: 92)
Menukil dari sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ishaq Ibn ‘Abdullah Ibn Abi Thalhah bahwa ia mendengar Anas Ibnu Malik ra berkata:Abu Thalhah adalah orang Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya berupa kebun kurma. Harta yang paling disenangi adalah kebun Bairuha yang berhadapan dengan masjid (nabawi). Rasulullah saw pernah masuk ke kebun itu dan minum airnya yang sangat bagus. Anas berkata, ketika ayat: Lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun, Abu Thalhah menghadap Rasulullah saw seraya berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah swt telah berfirman: Lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun. Sesungguhnya di antara harta-harta yang paling saya senangi adalah kebun Bairuha; Harta itu saya shadaqahkan untuk Allah dan saya mengharap balasan kebaikan dan simpanan (pahala) di sisi Allah. Ya Rasulullah silakan apa yang akan anda lakukan menurut petunjuk Allah kepadamu terhadap kebun itu.
Anas Ibn Malik berkata: Rasululah saw bersabda: Bagus sekali. Itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan. Saya telah mendengar apa yang kau ucapkan. Menurut saya, kau shadaqahkan harta itu kepada kaum kerabatmu. Abu Thalhah berkata: Wahai Rasulullah akan saya lakukan hal itu. Kemudian Abu Thalhah membagi harta itu kepada kerabatnya dan anak pamannya.” [HR. al-Bukhari].
Seorang wakif juga diberi kebebasan untuk memberi persyaratan terhadap harta yang diwakafkan –sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Syara’. Dalam qaidah fiqhiyyah, disebutkan Syarat yang ditentukan oleh wakif mempunyai kekuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh Syara’.
Tak pelak lagi, wakif diberi kebebasan untuk meniatkan atau mengikrarkan tujuan wakafnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Syara’.Di antara ketentuan Syara’ yakni, menarik (mendatangkan) kemaslahatan dan menolak (menghindari) kerusakan Kemashlatan sebagai dasar dari ajaran Islam, dijelasan oleh Ibnul-Qayyim: “Sesungguhnya syari’ah dibangun dan didasarkan kepada hikmah dan kemaslahatan hamba baik untuk kehidupan dunia mapun untuk kehidupan akhirat.” [I’lamul Muwaqqi’in, Juz II halaman 14]
Berkaitan dengan menghindari kerusakan, banyak ayat Alquran berisi larangan untuk berbuat kerusakan. Di antaranya yaitu: “… dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” [QS. al-Baqarah (2): 60] “…dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” [QS. al-Maidah (5): 64].
Islam melarang kerusakan karena kerusakan adalah perbuatan yang mendatangkan kerugian (kemadlaratan) bagi kehidupan manusia. Di antara perbuatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan dan dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian adalah berlaku mubadzir. Islam melarang perbuatan mubadzir ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:Artinya: “… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. al-Isra’: 26-27]
Berkait dengan permasalahan yang ditanyakan, dapat dikemukakan penjelasan hukum sebagai berikut:
1.Terhadap tanah wakaf yang terlantar karena belum/tidak ada dana untuk membangun sesuai dengan niat wakaf.
Di sini tampaknya tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif, sesungguhnya memiliki nilai mashlahat bagi masyarakat, hanya saja untuk mewujudkan belum tersedia dana, yang akibatnya tanah wakaf untuk sementara ini menjadi terlantar. Jika demikian, maka tujuan wakaf sebagaimana yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif harus dijaga dalam arti harus diupayakan terwujudnya. Sedangkan akibat tidak/belum tersedianya dana untuk membangun sehingga tanah wakaf tersebut menjadi terlantar, harus dihindari, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk perbuatan mubadzir/pemborosan yang dilarang oleh agama. Untuk itu nadhir dibenarkan mengelola tanah wakaf tersebut dengan kegiatan-kegiatan produktif/komersial, yang kelak hasilnya adalah untuk mewujudkan niat wakif.
2. Terhadap tanah wakaf yang terlantar karena tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif kurang mashlahat sebab di tempat itu telah tersedia sarana yang sama dengan yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif.
Dalam kasus ini, jika tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif dipaksakan untuk dilaksanakan, dapat ditebak bahwa harta wakaf baik tanah maupun bangunannya tidak akan mendatangkan mashlahat secara maksimal. Dengan kata lain membuka terjadinya perbuatan yang mubadzir. Untuk menghindari tindakan mubadzir ini, menurut hemat kami dapat dilakukan penggantian tujuan wakaf, dengan tujuan yang lain yang paling besar mendatangkan kemaslahatan bagi umat/masarakat. Jika dipandang bangunan produktif/komersial seperti mall atau hotel adalah alternasi tujuan wakaf yang paling mendatangkan kemashlahatan, tentunya itulah yang dipilih. Namun jika ada alternasi lain, kiranya tidak salah untuk dikaji secara cermat, sehingga akan betu-betul mampu mendatangkan kemashlahatan yang paling besar bagi umat atau masyarakat.
Hasil dari kegiatan produktif ini digunakan semaksimal mungkin untuk membiayai kegiatan amar ma’ruf nahi munkar,–termasuk untuk membiayai kegiatan masjid, dakwah dan kegiatan kemanusiaan yang lain– disamping untuk biaya opersional kegiatan produktif itu sendiri. Dengan demikian sekalipun tujuan wakaf tanah itu misalnya untuk bangunan masjid, namun karena di tempat itu sudah berdiri masjid yang cukup representatif, maka penggantian dengan tujuan wakaf yang produktif yang hasilnya juga untuk masjid bahkan juga amar ma’ruf nahi munkar yang lain, tampaknya tidak akan mengurangi keutamaan dalam berwakaf.