REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia menilai langkah Barat menjatuhkan sanksi pada militer Myanmar berisiko memicu perang saudara di negara tersebut. Namun Prancis mengatakan Uni Eropa akan meningkatkan 'pembatasan' pada para jenderal.
Komentar Kremlin menunjukkan sinyal dukungan mereka bagi junta yang menggulingkan pemerintah sipil terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Junta masih menghadapi gelombang demonstrasi dan pembangkangan sipil yang berkelanjutan di seluruh negeri.
Rusia mengatakan, bahwa sanksi terhadap pihak berwenang sia-sia dan sangat berbahaya. "Faktanya, garis seperti itu berkontribusi untuk mengadu domba pihak satu sama lain dan, pada akhirnya, mendorong rakyat Myanmar menuju konflik sipil skala penuh," kata Kementerian Luar Negeri Rusia, dikutip oleh kantor berita Interfax.
Rusia adalah pemasok senjata utama ke Myanmar. Wakil menteri pertahanannya sempat bertemu dengan pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing pada bulan lalu di ibu kota Naypyidaw. Pertemuan itu menuai kritik dari aktivis hak asasi yang menuduh Moskow melegitimasi junta.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian di Paris mengatakan, Uni Eropa bersiap untuk menjatuhkan sanksi kolektif pada militer Myanmar yang menargetkan kepentingan bisnisnya. "Kami akan menambahkan sanksi ekonomi di tingkat 27 (negara UE) terhadap entitas ekonomi yang terkait dengan tentara sehingga (sanksi) dapat diterapkan dengan sangat cepat," kata Le Drian kepada anggota parlemen.
Bulan lalu, Uni Eropa menjatuhkan sanksi pada sejumlah tokoh yang terkait dengan kudeta dan penindasan pada gelombang protes. Sementara Amerika Serikat juga telah mengambil tindakan terhadap individu dan bisnis yang dijalankan militer, yang mencakup rentang kehidupan ekonomi Myanmar.
Sebuah protes yang dijadwalkan Rabu (7/4) menyerukan pembakaran barang-barang buatan Cina. Banyak pengunjuk rasa yang menentang China, yang merupakan investor utama di Myanmar, karena dianggap mendukung junta.