REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pandemi Covid-19 dinilai menjadi momentum emas bagi para peneliti yang menaruh perhatiannya pada pengembangan obat-obatan tradisional. Biodiversitas tanaman obat yang dimiliki Indonesia menjadi potensi besar untuk mengambil peran dalam mengatasi pandemi Covid-19 ini.
“Tren penggunaan bahan alami, khususnya obat tradisional, di masa pandemi Covid-19 ini merupakan momentum emas bagi masyarakat untuk kembali mencari dan menggunakan rempah-rempah asli Indonesia,” kata CEO Nucleus Farma, Edward Basilianus, dalam diskusi bertajuk “The Secret of Indonesian Herbal (Jamu) for Good Health” di Jakarta, belum lama ini.
Edward mengatakan biodiversitas tanaman obat yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan produk berbahan herbal yang semakin meningkat. Selanjutnya, kata dia, momentum ini menjadi peluang bagi para peneliti mengembangkan hasil riset sekaligus memacu para produsen untuk mengembangkan produk bersis herbal.
“Jika ini bisa dilakukan dengan optimal akan berdampak positif pada perekonomian nasional dan mendukung kemandirian industri obat berbahan herbal,” katanya.
Sementara itu Ketua Umum GP Jamu, Dwi Ranny Pertiwi Zarman, mengatakan pengobatan tradisional Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan ramuan jamu. Jamu di Indonesia, kata dia, sudah ada sejak tahun 1300 dan sudah menjadi minuman bersejarah dengan berbagai khasiat untuk menjaga kesehatan.
Dwi mengatakan, sejauh ini pengobatan tradisional sudah diakui oleh WHO sebagai otoritas kesehatan di bawah PBB. “Adanya pengakuan dari WHO ini menunjukan kepedulian terhadap pengembangan obat tradisional dengan mengeluarkan buku panduan Metodologi Penelitian dan Evaluasi terhadap pengobatan tradisional.
Selanjutnya, perwakilan dari Badan POM Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si, menyoroti melimpahnya keanakaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Indonesia, kata dia, memiliki sekitar 30 ribu jenis tanaman, dimana sekitar 800 diantaranya berpotensi untuk dijadikan obat herbal.
Sejalan dengan Inpres no.6 tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Badan POM menginisasi pembentukan Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka. Ada 14 lembaga yang terlibat dalam Satgas ini, terdiri dari Kementerian, asosiasi pelaku usaha, organisasi profesi, dan perguruan tinggi.
“Dengan terbentuknya satgas ini diharapkan dapat meningkatkan intensifikasi hilirisasi penelitian obat berbahan alam untuk menjadi Fitofarmaka, sehingga akses dan ketersediaan obat produksi nasional akan meningkat,” kata Reri.