Selasa 13 Apr 2021 17:09 WIB

Tren Asian Fetish yang Dikhawatirkan Perempuan

Banyak Perempuan Asia Jadi Fetish Bagi Pria di Australia

Rep: Wing Kuang/ Red:
Banyak Perempuan Asia Jadi Fetish Bagi Pria di Australia
Banyak Perempuan Asia Jadi Fetish Bagi Pria di Australia

"Saya suka gadis Asia, kebanyakan dari mereka nakal dan saya suka itu," bunyi pesan yang muncul di telepon Sharon Jiang.

Pesan ini ditujukan kepada Sharon, seorang perempuan Australia keturunan China yang berusia 24 tahun dan tinggal di Sydney. 

Pengirimnya adalah orang asing dari Prancis yang mengaku sedang berlibur di Australia.

Itu bukan pesan 'Asian Fetish' pertama yang diterima Sharon, yang juga co-host podcast 'Crazy Biatch Asians'.

'Fetish' adalah kondisi saat seseorang merasa bergairah, terangsang, atau puas dengan bagian tubuh atau benda non-seksual.

Sejumlah pria yang terhubung dengannya akan dengan cepat mengatakan kepadanya jika mereka secara seksual lebih menyukai perempuan Asia.

Sharon banyak menerima pesan bernada seperti dari aplikasi kencan di ponselnya.

Satu pesan yang secara khusus membuatnya merinding mengatakan: "Saya belum pernah mencoba perempuan Asia sebelumnya."

Pesan itu diikuti dengan permintaan agar Sharon mau mempertimbangkan dirinya menawarkan "pengalaman dengan orang Asia pertama" untuk pria tersebut.

Awalnya, Sharon tersanjung ketika dia menerima pesan yang memuji dia tentang penampilannya sebagai perempuan Asia.

"Saya pikir dalam konteks kencan, semua orang ingin merasa diakui dan diinginkan," kata Sharon kepada ABC.

"Anda menggunakan aplikasi kencan untuk menemukan semacam hubungan romantis"

Apa itu 'Asian fetish'?

'Asian Fetish' adalah objektifikasi seksual atas penampilan perempuan Asia, menurut Michelle Aung Thin, dosen senior komunikasi di RMIT University di Melbourne.

Daya tarik terhadap perempuan Asia berhubungan dengan kekuasaan dan stereotip perempuan Asia yang dianggap mudah tunduk dan patuh.

Menurut Dr Aung Thin, anggapan tersebut berasal dari stereotip Oriental dalam sejarah dan budaya populer.

Seperti penggambaran dunia Barat soal geisha, perempuan penghibur asal Jepang selama Perang Dunia II, Perang Vietnam dan Korea, serta pertunjukan panggung seperti 'Miss Saigon' atau 'Madame Butterfly'.

Pengalaman Sharon dalam menerima pesan-pesan juga dialami oleh banyak perempuan Asia lainnya di Australia.

Vanessa Lee, seorang perempuan Malaysia berusia 27 tahun yang bekerja di sebuah bank di Melbourne, telah menon-aktifkan beberapa aplikasi kencan selama sekitar tiga tahun.

Menurutnya bertemu pria Australia dengan 'Asian fetish' bukanlah hal yang aneh baginya.

Vanessa mengatakan dia pernah menerima pesan yang ditulis dalam bahasa China yang mengatakan: "Aku ingin menidurimu."

Dia semakin kesal setelah tahu jika pengirimnya mengira dirinya adalah orang China.

Dia mengatakan kepada ABC ada banyak profil pria yang secara khusus menyoroti preferensi mereka terhadap perempuan Asia dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.

Salah satu profil yang ditulis oleh seorang pria kulit Putih yang ia lihat tertulis: "Aku punya sesuatu untuk gadis-gadis Asia yang imut dan seksi."

Ada juga pernyataan lain yang ia temukan dan ditulis dalam bahasa China: Saya suka perempuan China."

"Banyak orang tampaknya tidak paham mengapa mereka tidak boleh mengatakan hal-hal tertentu," kata Vanessa.

"Bahkan ketika saya memberi tahu teman-teman saya tentang hal ini, teman-teman non-Asia saya merasa sulit untuk memahaminya. Mereka pikir itu hanyalah pujian dan orang-orang ini hanya tertarik pada budaya Asia saya."

Isabella Xu, seorang guru berusia 28 tahun di Melbourne, mengatakan kepada ABC salah satu pria yang 'match' dengannya di aplikasi kencan Tinder mengatakan jika penampilan "imut" sering dikaitkan dengan perempuan Asia.

Tapi Isabella menganggap komentar itu sebagai "tanda bahaya".

"Ini membuat saya seperti kehilangan identitas kita sendiri."

Isabella adalah mantan mahasiswa internasional dari China.

Dia mengatakan bagi pelajar perempuan internasional dari Asia mungkin tidak menyadari daya tarik seksual perempuan Asia, ketimbang perempuan Asia yang memang dibesarkan di dunia Barat.

"Saya merasa bagi mereka yang memiliki Asian fetish, yang mereka pedulikan adalah kita orang Asia, tapi mereka mungkin tidak menghargai waktu dan emosi yang kita berikan saat berhubungan dengan mereka," kata Isabella.

Bagaimana aplikasi kencan menanggapinya?

Seorang juru bicara dari 'Match Group', yang memiliki situs web dan aplikasi kencan Tinder, OkCupid, Plenty of Fish and Hinge, mengatakan melarang semua konten yang mempromosikan rasisme atau kekerasan di platform mereka.

"Semua layanan kami dilengkapi dengan fitur pelaporan dalam aplikasi yang memudahkan pengguna untuk melaporkan pesan yang menyinggung," kata juru bicara perusahaan itu.

"Kami mendorong semua pengguna untuk melaporkan setiap perilaku yang tidak dapat diterima, sehingga tim kami dapat menyelidiki dan mengambil tindakan yang sesuai."

Dalam sebuah pernyataan kepada ABC, aplikasi kencan Bumble mengatakan ada "kebijakan tanpa toleransi untuk kebencian, perlakuan kasar, atau perundungan dalam bentuk apapun".

"Kami menjalankan fungsi Blokir & Laporkan yang kami miliki dengan sangat serius — kami tidak mentoleransi perilaku rasis dan mendorong setiap anggota komunitas kami yang mengalami rasisme ... untuk menggunakan fitur ini," kata perwakilan Bumble.

"Selain itu, kami juga sangat berinvestasi dalam Artificial Intellegence dan perangkat untuk menandai kata-kata yang meliputi semua bentuk rasisme dan perilaku toxic."

Sikap yang merugikan muncul dari stereotip Barat

Percakapan tentang 'Asian fetish' dan hubungannya dengan rasisme kembali menjadi sorotan setelah enam perempuan Asia, termasuk di antara delapan orang yang ditembak mati di spa Atlanta di Amerika Serikat bulan lalu.

Komunitas Asia di Amerika marah kepada Pemerintah Amerika Serikat yang awalnya mengatakan serangan itu terkait dengan "kecanduan seksual" si penembak, dan bukan kejahatan rasial.

Shawna Tang, dosen studi gender di University of Sydney, mengatakan penembakan di spa Atlanta adalah bukti perempuan Asia menjadi subjek seksisme dan rasisme, yang dapat ditelusuri kembali ke kolonialisme di Asia.

"Dan kemudian dengan sangat tidak adil, dari waktu ke waktu, ada stereotip tentang [perempuan asia yang] bekerja di bordil, subjek seksual atau pelacur. Ini menjadi sangat tertanam dalam budaya Barat."

Sophie Loy-Wilson, dosen senior sejarah Australia di University of Sydney, mengatakan rasisme terhadap perempuan Asia di Australia sudah ada sejak lama.

Pada tahun 1855, Koloni Victoria mengeluarkan undang-undang untuk melarang imigrasi Asia, sebuah undang-undang pertama di dunia yang melarang migran Asia.

Undang-undang ini dibuat jauh sebelum kebijakan 'White Australia' dimulai, yang hanya memperbolehkan orang kulit putih pindah ke Australia.

Sementara itu, mayoritas pendatang Asia ke Australia adalah laki-laki, perempuan Asia biasanya hanya mengikuti suami atau sebagai pembantu.

Setelah tiba di Australia, banyak perempuan Asia diberi pekerjaan bergaji rendah saat harus menghadapi kesulitan hidup dan tak jarang masih kesulitan dengan berbahasa Inggris.

"Penggambaran arus utama soal perempuan Asia adalah sebagai budak, sebagai pihak yang tidak memiliki kemauan sendiri," kata Dr Loy-Wilson.

"Perempuan Asia adalah budak, baik budak untuk laki-laki Asia, atau budak pada umumnya."

Dr Loy-Wilson mengatakan meski rasisme terhadap perempuan Asia pada abad ke-19 dan ke-20 didokumentasikan dengan baik di Amerika Serikat, hanya ada sedikit catatan tentang rasisme terhadap perempuan Asia di Australia.

Dia mengatakan, karena jumlah komunitas Asia di Australia lebih kecil daripada di Amerika Serikat, posisi perempuan Asia lebih rentan, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menjadi sasaran.

"Saya pikir kita memiliki masalah di negara ini," kata Dr Loy-Wilson.

Adakah perbedaan antara pujian dan rasisme?

Penulis Australia asal Taiwan, Jessie Tu, mengeksplorasi hubungan ras antara seorang perempuan muda Asia dan kekasihnya yang berkulit putih dan berusia jauh lebih tua.

Cerita ini dituangkan dalam novelnya berjudul 'A Lonely Girl is A Dangerous Thing', yang masuk nominasi penghargaan karya sastra Australia, Stella Prize.

Dia mengutip jurnalis dan penulis Amerika Wesley Morris, yang berpendapat roman "peduli tentang apa yang diinginkan oleh subyeknya", berbeda dengan 'fetish'.

"Jika Anda fetish kepada seseorang, Anda punya gagasan orang itu harus sesuai dengan apa yang Anda pikirkan, sedangkan dalam hubungan yang sehat Anda benar-benar mendengarkan apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain," kata Jessie.

Jessie mengatakan dia bisa mengetahui apakah hubungan antar ras itu sehat atau sekedar 'Asian fetish' dengan melihat bagaimana pasangannya mau belajar tentang budaya Asia.

"Bagi saya, menjadi orang Asia adalah identitas yang penting," katanya.

"Jika saya memiliki pasangan dari ras yang berbeda, saya berharap dia belajar tentang budaya saya, dimotivasi oleh keinginan untuk belajar tentang saya sebagai individu."

"Jika dia berkencan dengan saya hanya karena dia tertarik pada ke-Asia-an saya, maka dia [memiliki] Asian fetish"

Kembali ke cerita Sharon, ia mengaku seringkali sulit untuk menentukan apakah pujian yang diterimanya sebagai 'Asian fetish' atau bukan, dan ia perlu waktu untuk memperhatikan tanda-tandanya.

Tapi Sharon juga menekankan perhatian yang ditunjukkan dari orang dari ras yang berbeda "tidak selalu berarti buruk".

"Kencan [antar ras] bisa menjadi luar biasa jika dilakukan dengan saling menghormati," katanya.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News dalam Bahasa Inggris.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement