Senin 19 Apr 2021 12:23 WIB

Kelangkaan Gula Rafinasi di Jatim Kembali Dikeluhkan

Cabut Permenperin 3/ 2021, supaya tidak diskriminatif dan mendorong pengurangan impor

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Agus Yulianto
Gula Rafinasi (ilustrasi)
Foto: Corbis
Gula Rafinasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki menegaskan, kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur merupakan dampak dari pemberlakukan Permenperin nomor 3 tahun 2021. Aturan tersebut dianggapnya diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.

Zakki menyambut baik rencana Kementerian Perindustrian untuk turun langsung dan menyaksikan kondisi riil industri mamin di Jawa Timur. Namun, dia tetap menyarankan agar Permenperin 3/ 2021 dicabut, supaya tidak diskriminatif dan mendorong pengurangan impor gula secara bertahap tanpa merugikan semua pihak di hulu dan hilir industri gula.

"Ketentuan batas izin usaha 25 Mei 2010 harus dicabut dan mendorong semua industri gula tebu untuk dapat memproduksi gula rafinasi selain gula kristal putih sesuai amanah UU Perkebunan nomor 39 tahun 2014. Sekaligus untuk menggairahkan perkembangan industri gula nasional di berbagai provinsi," kata Zakki, Senin (19/4).

Zakki mengatakan, dengan mempertimbangkan kebutuhan gula rafinasi di Jatim yang cukup banyak, juga untuk provinsi-provinsi lainnya, akan lebih bijak apabila masing-masing daerah, kebutuhannya dipenuhi dari industri gula di daerah tersebut. Tentunya oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin dan memenuhi persyaratan teknis.

"Hal ini akan mendorong persaingan sehat dengan distribusi yang efisien. Pasokan gula rafinasi dari luar Jawa Timur tidak efisien untuk kami,” ujarnya.

Pengamat ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menegaskan, aturan tersebut memiliki dampak merugikan bagi semua pihak. Baik pabrik gula yang izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010, petani tebu, dan industri pengguna, seperti industri Mamin di Jawa Timur.

Pabrik gula yang tidak mendapatkan izin impor bakal kekurangan gula mentah. Sementara industri pengguna seperti perusahaan mamin di Jawa Timur mendadak mengalami kelangkaan pasokan gula rafinasi karena selama ini mendapat pasokan dari pabrik gula di Jawa Timur.

Di lain pihak, kata dia, Permenperin 03/ 2021 melemahkan kontrol atas impor gula dan mendukung hadirnya gula rembesan. Dalam aturan tersebut, rekomendasi izin impor gula mentah diperoleh pabrik gula tanpa menyertakan kontrak jual beli gula rafinasi dengan industri pengguna.

Perubahan bongkar muat gula impor juga menurutnya tidak memerlukan persetujuan dan rekomendasi dari kementerian, sehingga pabrik gula dapat melakukan bongkar muat gula impor di pelabuhan mana saja. Gula rembesan tersebut mengancam petani tebu karena menyebabkan kelebihan pasokan gula konsumsi di pasaran dan disparitas harga.

“Aturan Permenperin 3/2021 tersebut banyak kelemahan, cenderung menguntungkan segelintir perusahaan, dan mengacaukan tata kelola industri gula hulu dan hilir secara terpadu. Aturan ini harusnya direvisi,” kata dia.

Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jatim, Khoirul Rosyadi mengatakan, regulasi industri gula seharusnya mempertimbangkan aspek persaingan usaha yang sehat dari hulu hingga ke hilir dan tata kelola industri gula yang berkesinambungan. Semua pabrik gula seyogyanya didorong untuk memiliki dan bekerja sama dengan perkebunan tebu dan mengurangi impor gula mentah.

"Kenyataannya, keran impor gula mentah hanya dibuka untuk segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010, sementara yang lain harus untuk menyerap gula tebu yang pasokannya tidak cukup untuk satu tahun," kata dia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement