Rabu 21 Apr 2021 21:08 WIB

Melarang Mudik dan Membolehkan Wisata Dinilai Paradoks

Tidak adanya larangan bagi masyarakat berwisata saat libur Lebaran perlu diwaspadai.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Mas Alamil Huda
Wisatawan berjalan di kawasan pantai Ancol, Jakarta, Selasa (20/4/2021). Kemenparekraf memprediksi bahwa pariwisata DKI Jakarta akan mengalami peningkatan pertumbuhan sekitar 15 hingga 20 persen selama 2021 jika COVID-19 berhasil dikendalikan.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Wisatawan berjalan di kawasan pantai Ancol, Jakarta, Selasa (20/4/2021). Kemenparekraf memprediksi bahwa pariwisata DKI Jakarta akan mengalami peningkatan pertumbuhan sekitar 15 hingga 20 persen selama 2021 jika COVID-19 berhasil dikendalikan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tidak adanya larangan bagi masyarakat berwisata saat libur Lebaran dinilai perlu diwaspadai. Kendati mudik resmi tidak diperbolehkan, mobilitas warga saat berwisata lokal atau di daerah masing-masing bisa menjadi ancaman lonjakan kasus Covid-19 jika tidak diantisipasi.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo mengkritisi rencana pemerintah yang membuka tempat wisata selama libur Lebaran meski disertai kampanye disiplin protokol kesehatan (prokes). Windhu menilai dua kebijakan tersebut secara substansi bertentangan.

“Seharusnya pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan paradoks seperti melarang mudik tetapi memperbolehkan destinasi wisata dibuka,” kata Windhu saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (21/4).

Menurut Windhu, pemerintah perlu memikirkan ulang kebijakan membuka destinasi wisata. Jika perlu, kata dia, destinasi wisata harus ikut dilarang seperti halnya mudik. Selain itu, ia juga meminta mudik di wilayah aglomerasi seharusnya juga tidak diperbolehkan.

“//Masa// virus bisa membedakan antara orang yang melakukan perjalanan mudik jarak jauh, mudik lokal atau jarak dekat, dan yang melakukan perjalanan wisata,” ujar dia.

Menurutnya, pembolehan tempat wisata dan mudik aglomerasi selain berpotensi meningkatkan penularan, juga akan membingungkan aparat di daerah. Sebab, kata dia, mereka akan bingung memilah antara yang mudik jauh dengan yang mudik lokal dan yang akan berwisata. 

"Nanti semuanya akan berkilah kalau jalan bukan untuk mudik tapi untuk berwisata, toh berwisata tidak dilarang. Ini kebijakan yang lucu tapi nyata," ujarnya.

Windhu mengingatkan, semua mobilitas manusia yang diikuti dengan interaksi sangat berisiko meningkatkan penularan. Ia meminta semua pihak harus belajar dari kondisi negara lain yaitu India yang sampai dengan awal Februari 2021 sudah terkendali. Namun, karena lengah, masyarakatnya euforia ditambah kebijakan pemerintah yang membolehkan kampanye pemilu sejak akhir Februari.

Menurutnya, ini saatnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro diuji. Windhu meminta setiap RT/RW di desa/kelurahan di tempat tujuan mudik harus betul-betul berfungsi dengan melakukan karantina minimum lima hari bagi mereka yang nekat datang. Ia menambahkan, tempat karantina bisa disediakan oleh desa/kelurahan atau pemerintah kabupaten/kota setempat.

"Inilah ujian PPKM Mikro, kalau ini tidak bisa dilakukan, berarti menunjukkan bahwa PPKM Mikro cuma nama saja, tapi sesungguhnya tidak berfungsi," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement