REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Dian Fath Risalah, Kamran Dikrama
Sebanyak 11 orang yang terdiri dari tujuh warga negara (WN) India dan empat warga negara Indonesia (WNI) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus lolosnya WN India yang tiba di Indonesia tanpa menjalani proses karantina. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, ada celah yang dimanfaatkan oleh para tersangka dalam melancarkan aksinya.
Yusri menjelaskan adanya sejumlah mekanisme yang telah dilewati oleh para WN India yang tiba di Indonesia, sampai akhirnya lolos dari tahapan karantina. Tahapan atau mekanisme yang dilewati mulai dari keluar pesawat, area pengisian formulir, konter e-HAC, melewati pemeriksaan kesehatan kemudian lewat satgas, serta konter imigrasi hingga pengambilan barang.
"Sampai pada penentuan dirujuk di hotel mana, itu mereka lewati semua. Mekanisme itu harus dilewati, kalau tidak dilewati salah besar," ujarnya saat konferensi pers di Mapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (28/4).
Yusri mengakui, ada kelemahan pada mekanisme pengawasan saat WNA tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Di antaranya tidak adanya pengecekan kembali terhadap jumlah penumpang yang turun dari pesawat dengan total orang yang tiba di hotel yang menjadi rujukan lokasi karantina.
Dia menerangkan, aksi yang dilakukan tersangka berupa memasukkan database nama WN India yang baru tiba ke hotel yang dirujuk menjadi lokasi karantina. Setelah nama WN India tersebut tercantum di daftar hotel, tersangka tidak membawa WN India itu naik kendaraan bus yang telah disiapkan untuk kemudian dibawa ke hotel, tetapi mengalihkannya ke taksi atau mobil pribadi untuk menghindari karantina.
"Namanya terdaftar di Hotel Holiday Inn (lokasi karantina WNA) tapi tidak masuk. Kenapa bisa? Karena kurangnya pengawasan, masuk ke Damri sini dan di hotel saja kurang ada kroscek," terangnya.
Yusri menegaskan, pihaknya akan mendalami kasus tersebut karena menjadi atensi nasional, mengingat kondisi pandemi Covid-19 di India dalam kondisi terparah saat ini. "Kita akan lakukan penyelidikan karena dampaknya adalah penyebaran Covid-19 semakin marak di Indonesia," kata dia.
Diketahui, dari tujuh WN India yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut, lima diantaranya merupakan penumpang pesawat Air Asia QZ 988 yang terbang dari India ke Indonesia pada Rabu, 21 April 2021. Mereka lolos dari kewajiban menjalani karantina dengan bantuan empat WNI yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Keempatnya mematok tarif sekitar Rp 6 juta hingga Rp 7,5 juta kepada WN India yang mereka loloskan.
Sementara dua tersangka lainnya yang merupakan WN India berperan membantu melancarkan aksi empat WNI, sehingga total tersangka ada 11 orang. Saat ini pihak kepolisian masih mengejar dua tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus tersebut.
Para tersangka dijerat Pasal 93 jo pasal 9 ayat 1 Undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau pasal 14 ayat 1 Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan ancaman hukumannya satu tahun penjara.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Bandara Internasional Soekarno-Hatta terkait mafia kekarantinaan. Netty menduga mafia kekarantinaan melibatkan orang dalam Bandara Soekarno-Hatta.
"Periksa juga seluruh petugas di bandara yang memiliki wewenang. Sulit diterima kalau mafia karantina kesehatan ini tidak melibatkan orang dalam," kata Netty dalam keterangannya, Rabu (28/4).
Menurut Netty, kasus dugaan mafia kekarantinaan ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Karena, besar kemungkinan masih ada kasus serupa yang belum berhasil terungkap.
"Kasus ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Dari mana tersangka mendapatkan kartu pas Disparekraf DKI Jakarta dan apakah tersangka dibantu jaringannya di bandara? Ini harus diungkap seluruhnya," ujarnya.
"Kita tidak ingin kasus ini berhenti hanya pada tersangka saja, karena pasti akan terjadi lagi," kata Netty menambahkan.
Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Habiburokhman juga meminta Polri membongkar kasus mafia kekarantinaan tersebut. Menurutnya, Polri harus menindak tegas para oknum dari berbagai instansi yang bermain-main dengan keselamatan masyarakat di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
"Jadi makanya, oknumnya harus jelas, diumumkan siapa, identitas namanya siapa, instansi dari mana, harus diproses secara hukum," kata Habib dalam keterangannya, Rabu (28/4).
Habib mengatakan para oknum ini bisa dijerat pidana UU Kekarantinaan Kesehatan dan pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP. Menurutnya, para oknum pasti turut memalsukan dokumen kedatangan WNI atau WNA.
"Karena saya duga pasti sudah terjadi pemalsuan dokumen. Orang yang belum diperiksa atau positif Covid bisa lolos gitu loh. Karena adanya suap-menyuap itu," ujarnya.
Ia meyakini mafia kekarantinaan ini tidak bermain sendiri dalam melakukan aksinya. Karena, kata dia, mustahil hanya satu orang bisa meloloskan WNI atau WNA yang datang dari luar negeri tak melakukan karantina kesehatan.
"Karena ini kan ada berbagai instansi di airport itu. Enggak mungkin hanya bisa lolos dengan satu orang, pasti ada beberapa orang yang bekerja sama meloloskan ini," katanya.
Varian India
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, varian Covid-19 mutan ganda atau diidentifikasi sebagai B.1.617 telah menyebar ke setidaknya 17 negara. WHO mengungkapkan, hingga 27 April, varian B.1.617 terdeteksi di lebih dari 1.200 sequences (urutan) yang diunggah di basis data Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID) dari setidaknya 17 negara.
“Sebagian besar sequences diunggah dari India, Inggris Raya, Amerika Serikat (AS), dan Singapura,” kata WHO dalam keterangannya pada Selasa (27/4).
Baru-baru ini WHO mencantumkan B.1.617, yang menghitung beberapa sub-garis keturunan dengan mutasi dan karakteristik sedikit berbeda, sebagai "variant of interest". Namun sejauh ini, WHO tidak lagi menyatakannya sebagai "variant of concern”.
Label itu menunjukkan bahwa varian baru terkait lebih berbahaya daripada versi asli virus. Misalnya, karena lebih menular, mematikan, atau memiliki resistansi terhadap vaksin.
WHO mengakui, pemodelan pendahuluannya berdasarkan urutan yang dikirimkan ke GISAID menunjukkan bahwa B.1.617 memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada varian lain di India. Hal itu menunjukkan potensi peningkatan penularan.
WHO menyebut varian lain yang beredar pada saat bersamaan di India menunjukkan peningkatan transmisi. Menurut WHO, kombinasi tersebut mungkin memainkan peran dalam lonjakan tajam kasus baru Covid-19 di sana.
“Memang, penelitian telah menyoroti bahwa penyebaran gelombang kedua jauh lebih cepat daripada yang pertama,” kata WHO.