REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti menilai pertanyaan tentang doa qunut dalam shalat pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat tendensius. Menurut Mu’ti, selama ini doa qunut telah menjadi khilafiah (perbedaan pendapat) di kalangan umat Islam. Terlebih, kata dia, sudah ada pengetahuan umum menyoal kelompok mana yang membaca qunut dan tidak saat shalat subuh.
"Pertanyaan tentang qunut itu tendensius,’’ ujar dia kepada Republika, Kamis (6/5).
Dia menegaskan, membaca qunut atau tidak adalah masalah keyakinan individu, sehingga tidak perlu ditanyakan. Menyoal tes bagi ASN, qunut jelas Mu’ti, juga tidak berkesinambungan dengan integritas dan kinerja seorang ASN. "Mestinya semua pertanyaan tetap difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan profesionalitas, integritas, dan kinerja,’’ kata dia.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan menyindir, pertanyaan soal qunut seharusnya sudah selesai di sekolah dan hanya menjadi pilihan saat shalat. Sehingga, pertanyaan di TWK KPK itu dinilainya tidak relevan dan tidak kontekstual.
Alih-alih qunut, kata dia, bangsa Indonesia justru membutuhkan ASN yang sangat memahami konstitusi dan sejumlah aturan hingga Perundang-undangan serta teknis lainnya. "Dan ini harus menjadi fokus materi ujian. Sehingga, ASN kita kelak bisa menegakkan aturan untuk mencegah korupsi, di mana Indonesia sedang darurat korupsi,’’ kata Amirsyah.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad meminta KPK menjelaskan urgensi adanya pertanyaan seperti doa qunut dan kapan akan menikah. Sebab, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kinerja KPK.
"Seharusnya pertanyaan dalam tes memiliki proporsional dan relevan. Seperti ditanyakan seputar penanganan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Itu harus bagaimana?" kata dia, kemarin.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai TWK tak bisa menjadi dasar penilaian pegawai KPK. Apalagi materi pertanyaannya ngawur dan jauh dari isu pemberantasan korupsi.
"Pengangkatan status PNS dan ada ujian wawasan kebangsaan yang nampaknya ngawur pertanyaannya. Dagelan lelucon yang tak lucu, yang jelas makin nyata dari bentangan emperis semua adalah desain upaya pelemahan KPK," kata dia.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada Rabu menjelaskan, syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK agar lulus asesmen TWK yakni setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintah yang sah. Dia juga harus tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan serta memiliki integritas dan moralitas yang baik.
Dia mengatakan, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam melaksanakan TWK melibatkan banyak unsur instansi. Ada beberapa aspek yang diukur dalam asesmen TWK, yakni integritas, netralitas ASN, dan anti radikalisme.