REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan TNI di tanah Papua disebut sebagai salah satu solusi untuk menciptakan kedamaian dan keamanan. Strategi yang dijalankan untuk mengalahkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) ialah tanpa pertempuran, menyelesaikan konflik Papua tanpa diwarnai dengan pertumpahan darah.
"Keberadaan TNI di tanah Papua merupakan salah satu solusi untuk menciptakan kedamaian dan keamanan di tanah Papua," ujar Komandan Korem (Danrem) 172/PWY, Brigjen TNI Izak Pangemanan, dikutip dari laman resmi TNI AD, Ahad (9/5).
Hal tersebut disampaikan Danrem saat memberikan pembekalan kepada 500 personel Yonif Raider Khusus 751/VJS di Aula Mako Yonif RK 751/VJS, Sentani, Kabupaten Jayapura. Mereka akan menggantikan Yonif Para Raider 432/WSJ sebagai Satgas Pamrahwan di bawah kendali Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Korem 172/PWY.
Danrem mengatakan, strategi yang dijalankan untuk mengalahkan OPM ialah tanpa pertempuran. Itu berarti menyelesaikan konflik Papua tanpa diwarnai dengan pertumpahan darah, mengecat bintang kejora menjadi merah putih dengan cara memenangi pikiran, jiwa, dan perasaan masyarakat Papua.
“Ini yang ingin kita tekankan kepada prajurit kami yang akan melaksanakan tugas operasi sehingga mereka paham bagaimana cara melaksanakan tugas di Papua. Mereka harus sadar bahwa keberadaan satgas di Tanah Papua adalah untuk menciptakan stabilitas keamanan di setiap wilayah tanggung jawabnya," kata dia.
Dengan demikian, kata dia, maka pembangunan di tanah Papua ini akan berjalan dengan baik dan aman. Pembangunan yang berjalan akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Rakyat yang sejahtera tidak akan mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin merongrong kedaulatan NKRI.
Lebih lanjut Danrem menaruh harapan besar kepada para prajurit agar melaksanakan tugas sebagaimana yang telah ditekankan oleh pimpinan. Dia ingin mereka melaksanakan tugas secara profesional, melaksanakan tugas dengan melihat permasalahan yang ada.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, para prajurit diharapkan melakukannya dengan tidak menambah permasalahan baru. Sebab, TNI hadir di Papua untuk menjadi solusi, bukan sebaliknya.
“Bekerja dengan hati membangun masa depan Papua yg lebih baik, agar masyarakat Papua merasa nyaman bersama TNI maka dengan sendirinya pos tempat bertugas akan dijaga oleh masyarakat,” kata Izak.
Sebelumnya, pemerintah mengategorikan organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif sebagai teroris. Atas dasar itu, pemerintah telah meminta kepada semua aparat keamanan terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap organisasi-organisasi tersebut.
"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, pada konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).
Mahfud menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Intelijen Negara (BIN), pimpinan Polri-TNI, dan tokoh-tokoh Papua. Dia menerangkan, banyak tokoh masyarakat, tokoh adat Papua, serta pimpinan resmi Papua, yang datang ke kantornya.
Mereka semua menyatakan organisasi-organisasi itu melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal dan masif. "(Mereka) menyatakan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna menangani tindak-tindak kekerasan yang muncul belakangan ini di Papua," kata Mahfud.
Menurut dia, penetapan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2018. Di sana dijelaskan mengenai pengertian teroris dan juga terorisme. Untuk definisi teroris, kata Mahfud, dalam aturan tersebut berarti siapapun orang yang merencanakan, menggerakan, dan mengorganisasikan terorisme.
Sementara definisi terorisme yang diatur dalam aturan tersebut ialah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban secara massal.
"Atau, menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan," sambung Mahfud.