REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Wafatnya sang pejuang Seperti termaktub dalam buku Biografi 60 Sahabat Nabi, kisah kepahlawanan Amr bin Al Jamuh mencerminkan keteguhan hatinya dalam iman dan Islam. Khususnya, selama Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dia teramat gemar mendermakan hartanya di jalan Allah. Sifatnya itu menjadi perhatian tersendiri dalam pandangan Rasul SAW.
Tidak hanya harta benda, Amr bin Al Jamuh juga membaktikan jiwa dan raganya demi tegaknya agama Allah. Satu saja keistimewaan yang disandangnya dalam hal perjuangan fisik. Kakinya pincang, sehingga orang-orang banyak menganggap dirinya kurang pantas ikut terjun dalam kancah jihad.
Bagaimanapun, keempat anak-anaknya selalu tampil di sisi Rasulullah SAW dalam setiap pertempuran. Sewaktu Perang Badar meletus, Amr sesungguhnya teramat ingin ikut serta. Namun, putra-putranya secara halus memintanya agar mengurungkan niatnya tersebut. Nabi SAW juga memaklumkan bila Amr boleh tidak mengikuti jihad.
Bagaimanapun, Amr bin Al Jamuh bersikeras. Dia meminta-minta kepada Rasul SAW agar diizinkan turut berperang. Nabi SAW pun terpaksa menegaskan kepadanya agar tetap tinggal di Madinah.
Kesempatan Badar lewat. Kini, tibalah panggilan Perang Uhud. Begitu mendengar seruan umum, Amr bin Al Jamuh segera mendatangi Nabi SAW. Dia kembali memohon agar diizinkan bergabung. “Ya Rasulullah, anak-anakku hendak menghalangiku agar tak ikut berjihad bersamamu. Demi Allah, aku sangat ingin dengan kondisi kakiku ini aku dapat meraih surga,” katanya memelas.
Mendengar permintaan itu, Nabi SAW pun akhirnya mengizinkannya. Wajah Amr cerah lantaran ber sukacita. Dia cepat-cepat mengambil senjatanya, lantas turut dalam barisan pasukan Muslimin.
Lisannya bermunajat, “Ya Allah, karuniakanlah kepadaku kesyahidan. Janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan hidup.” Pertempuran Uhud begitu keras. Kaum Muslimin yang awalnya di atas angin, kini menjadi terdesak dan bahkan akhirnya menderita kekalahan.
Amr bin Al Jamuh termasuk yang gugur dalam medan jihad ini. Meskipun fisiknya kurang sempurna, sejarah mencatat kehebatan dan keberanian pemuka Bani Salamah itu. Kilatan pedangnya menebas banyak musuh Allah sebelum dirinya sendiri terhempas dalam kepulan debu.
Seperti yang diharapkannya, dia pun gugur sebagai syahid. Rasulullah SAW memerintahkan agar jasadnya dikebumikan dalam liang yang sama dengan jenazah Abdullah bin Amr bin Haram. Sebab, beliau bersaksi, keduanya semasa hidup merupakan sahabat yang saling menyayangi karena Allah.
Bertahun-tahun pascawafatnya Rasul SAW, suatu ketika kompleks permakaman para syuhada Uhud dilanda banjir. Genangan air memerlukan tindakan selekasnya. Pemimpin saat itu, Muawiyah, lantas memerintahkan agar kerangka-kerangka syuhada Uhud dipindahkan.
Dalam proses penggalian, umat menyaksikan betapa jasad para syuhada tak ubahnya ketika masih bernyawa, Jasad mereka terasa lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka juga tidak kaku.
Dalam persaksian Jabir bin Abdullah, jasad bapaknya dan Amr bin Al Jamuh tampak seakan-akan keduanya sedang tidur nyenyak. Kedua jenazah tak kelihatan rusak. Bahkan, dari bibir masing-masing tampak segaris senyuman, petanda kerelaan dan sukacita memperoleh status syahid.