REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual-beli. Menurut mazhab Hanafi, rukun jual-beli itu hanya satu, yakni akad saling rela antara mereka (an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ijab, ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (kabul, ungkapan menjual dari penjual).
Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat. Sedang menurut jumhur fuqaha (mayoritas ulama fiqih), rukun jual-beli itu adalah [a]. Penjual dan pembeli; [b]. Ijab dan kabul; [c]. Ada barang yang dibeli; [d]. Ada nilai tukar (harga).
Adapun syarat jual-beli yang terpokok adalah: orang yang berakad harus berakal sehat, barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya, barang yang diperjualbelikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual-beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan. Bagaimana halnya dengan jual-beli kucing, jika sudah memenuhi ketentuan pokok jual-beli di atas, boleh/sahkah?
KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer 3 mengatakan ada banyak hadits yang secara redaksional melarang jual-beli kucing, antara lain: Abu Zubair pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah r.a. mengenai uang hasil penjualan anjing dan kucing. Maka Jabir mengatakan: "Rasulullah SAW melarang keras hal ini" (HR Muslim).
Dalam hadits lain diriwayatkan Rasulullah SAW melarang uang hasil penjualan anjing dan kucing (HR Abu Dawud, an Nasa'i, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah r.a.). Ada pula riwayat yang lain bahwa Rasulullah SAW melarang makan daging kucing dan juga melarang makan uang dari penjualan kucing (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim dari Jabir bin Abdullah r.a.)