REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Berbicara sejarah, terorisme agak lain dengan fenomena yang berkembang saat ini. Terorisme sejatinya agak sulit didefinisikan dan rentan dipolitisasi. Banyak kepentingan berkelindan seputar fenomena itu. Tidak ada pengertian yang utuh.
Menurut AM Hendropriyono dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, terorisme adalah sebuah ideologi yang mendorong untuk melakukan kekerasan, menciptakan kondisi atau iklim ketakutan di dalam masyarakat.
Terorisme tidak sekadar pembunuhan, tetapi juga dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan. Terorisme adalah suatu cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistemik demi mencapai kepentingan tertentu.
Gerakan terorisme tidak hanya di dunia Islam, namun juga ada di kalangan fundamentalis agama-agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. Hendropriyono mencatat, terorisme tumbuh subur di lingkungan fundamentalis agama dan kebudayaan apa pun.
Fundamentalisme merupakan fenomena global yang dapat ditemui di semua agama besar di dunia. Akar terorisme adalah ideologi universal. Ideologi tersebut mendorong benturan, konflik, dan mempertajam fragmentasi budaya yang secara terus-menerus telah menumbuhkan fundamentalisme.
Fundamentalisme ini bukan implementasi atas ajaran agama, melainkan lebih merupakan pandangan sosio-politik. Di Amerika Serikat, ada kelompok Ku Klux Klan yang sangat rasis. Kelompok supremasi kulit putih di AS ini berdiri pada Desember 1865. Mereka berusaha menghabisi kaum kulit hitam dan minoritas di AS. Aksi-aksinya memuncak pada dekade 1950-1960-an yang memicu lahirnya perlawanan dari kalangan kulit hitam.
Kendati pemerintah berusaha melarang, kelompok ini tak pernah benar-benar mati. Sama halnya kelompok Zionis di Palestina. Lantaran menyakini Palestina sebagai tanah yang dijanjikan, mereka menggunakan berbagai cara guna mengokupasi negara itu. Pada masa kini, terorisme telah berkembang menjadi fenomena global yang didukung oleh negara atau organisasi transnasional.