REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dikabarkan berencana memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok atau sembako, termasuk beras. Rencana tersebut dinilai bukan hanya akan meningkatkan harga pangan, melainkan sekaligus mengancam ketahanan pangan dan berdampak buruk pada perekonomian.
"Pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal,” kata Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam pernyataan resminya dikutip Republika.co.id, Kamis (10/9).
Sebelumnya dikabarkan, pemberlakuan PPN tersebut akan diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Revisi tersebut akan mencakup penghapusan barang kebutuhan pokok, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” ujarnya.
Pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.
Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.
Saat ini, ketahanan pangan Indonesia sudah berada di peringkat 65 dari 113 negara, berdasarkan Economist Intelligence Unit's Global Food Security Index.
Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia ini adalah masalah keterjangkauan. "Keterjangkauan pangan yang menurun dengan sendirinya akan mendorong lebih banyak lagi masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah garis kemiskinan," ujarnya.
Semakin banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk September 2020.
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 2,7 juta bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah penduduk miskin sudah mencapai 27,55 juta orang, atau 10,19 persen penduduk Indonesia.
Data BPS tersebut juga menunjukkan bahwa tren penurunan angka kemiskinan yang terjadi hingga 2019 terhenti pada tahun berikutnya sebagai akibat dari dampak pandemi.
Secara lebih umum lagi kenaikan harga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan mengurangi belanja.
Padahal, Felippa menambahkan, belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional pada saat-saat sulit seperti sekarang ini. Selain sembako, barang hasil pertambangan atau pengeboran juga dihapus dari daftar barang yang bebas PPN.