Kamis 10 Jun 2021 19:55 WIB

Sri Mulyani Ogah Jawab Pajak Sembako

Menurut Menkeu dokumen yang beredar untuk DPR.

Rep: Novita Intan/ Red: Fitriyan Zamzami
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak memberikan penjelasan ke publik mengenai rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah barang dan jasa tertentu. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan etika politik. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini pemerintah dan DPR belum membahas rencana revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

"Kami tentu dari sisi etika politik, belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang belum kami sampaikan ke DPR melalui surat presiden," ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/6). 

Menurutnya  ketika RUU KUP disampaikan pada saat Rapat Paripurna dan sudah dibahas dengan Komisi XI, barulah dia bisa menjelaskan secara menyeluruh. Menurut Sri Mulyani, pemerintah tak bisa menjelaskan informasi mengenai reformasi perpajakan tersebut hanya sekilas. 

Adapun saat ini pemerintah memfokuskan pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19, sehingga dia memastikan, pemerintah bekerja secara maksimal menggunakan instrumen APBN untuk mendorong upaya pemulihan. 

“Fokus kita memulihkan ekonomi seperti konstruksi pemulihan ekonomi dari sisi demand side, supply side, makanya kita petakan berapa pengusaha UMKM, menengah, besar, sampai per sektor, subsektor, mana yang mungkin meningkat, mendapatkan keuntungan dari sisi Covid, mereka yang terpukul sangat dalam, mana yang bangkitnya lebih lambat, bagaimana mendukungnya," ungkapnya.

Ke depan Sri Mulyani berupaya membangun fondasi perpajakan yang sehat. Tak hanya itu, Sri Mulyani juga menegaskan reformasi perpajakan menggunakan prinsip gotong royong.

"Kita bisa melihat keseluruhannya, dan disitu kita bisa bahas mengenai apakah timing-nya harus sekarang, apakah pondasi harus seperti ini, siapakah di dalam perpajakan ini yang harus dalam prinsip gotong royong, siapa yang pantas dipajaki. Itu semua harus kita bawakan dan kita presentasikan secara lengkap," ungkapnya. 

“Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden. Kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, sehingga kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan,” ujarnya menambahkan.

Berdasarkan draf RUU KUP ada sejumlah aturan perpajakan yang akan dilakukan pemerintah. Dimulai dari pengenaan pajak penghasilan (PPh) minimum satu persen pada perusahaan merugi, menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, hingga tax amnesty jilid II. 

Adapun PPh minimum, perusahaan atau wajib pajak badan akan dikenakan PPh minimum jika memiliki PPh tidak melebihi satu persen dari penghasilan bruto. "Pajak Penghasilan minimum dihitung dengan tarif satu persen dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto," tulis Pasal 31F ayat 2 draf RUU KUP. 

Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPh 35 persen bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan kena pajak di atas Rp 5 miliar dalam setahun. Kemudian PPN, selain menaikkan tarif menjadi 12 persen, pemerintah juga akan menghapus sejumlah barang dan jasa yang selama ini bebas PPN. 

Adapun kelompok barang, ada dua kelompok yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako.

Sedangkan kelompok jasa, ada sebelas kelompok jasa yang akan dihapus dari kategori bebas PPN di antaranya jasa pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement