REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Iran berencana meningkatkan produksi minyaknya secara cepat. Hal itu diumumkan saat Teheran dan enam negara kekuatan dunia masih terlibat dalam pembicaraan pencabutan sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS).
“Jika sanksi dicabut, sebagian besar produksi minyak mentah negara itu akan dipulihkan dalam waktu satu bulan. Perencanaan yang cermat telah dilakukan untuk mengembalikan produksi minyak ke tingkat pra-sanksi dalam interval satu pekan, satu bulan, dan tiga bulan,” kata manajer produksi the National Iranian Oil Company (NIOC) Farokh Alikhani pada Rabu (9/6).
Alikhani mengungkapkan, setelah implementasi kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), rata-rata produksi minyak Iran adalah 3,38 juta barel per hari. “Kami berencana kembali ke tingkat itu jika sanksi (AS) dicabut,” ujarnya.
Iran tak merilis angka untuk ekspor saat ini. Namun beberapa perusahaan pemantau energi memperkirakan kapasitasnya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari pada April dan 600 ribu pada Mei lalu.
Kendati demikian, pada Selasa (8/6) lalu, AS mengatakan meski nanti JCPOA dihidupkan kembali, ratusan sanksi Washington terhadap Iran bakal tetap berlaku. Hal itu berarti pasokan tambahan minyak Iran tak akan segera diperkenalkan kembali ke pasar minyak mentah.
Pada 2016, Iran lepas dari isolasi ekonomi ketika negara-negara kekuatan dunia mencabut sanksi terhadapnya. Sebagai imbalannya, Iran harus mematuhi JCPOA guna mengekang aktivitas nuklirnya.
Tahun 2016, ekspor minyak Iran meningkat menjadi 2 juta barel per hari dan mencapai puncaknya 2,8 juta barel per hari. Hal itu berlangsung sebelum mantan presiden AS Donald Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran pada 2018.
Sanksi itu diberlakukan setelah Trump memutuskan menarik AS dari JCPOA. Trump menilai kesepakatan itu cacat karena tak turut mengatur aktivitas rudal balistik dan pengaruh Iran di kawasan.