REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh PBNU Kiai As'ad Said Ali menganggap, wacana PPN Pendidikan harus ditilik secara utuh. Khususnya, dari prinsip maslahat hingga mudharat yang mungkin bisa ditimbulkan nantinya.
"Saya cek dulu di lapangan," ujar dia kepada Republika, Sabtu (12/6).
Dia melanjutkan, jika ternyata ada maslahat dalam wacana tersebut, tentu akan didukung penuh. Walaupun, ternyata pada awalnya terlihat tidak mungkin dilakukan. "Dan kalau banyak mudharatnya tentu kita keberatan," ujar dia.
Kendati demikian, jika ternyata mendatangkan maslahat di jangka menengah, Kiai As’ad menegaskan untuk mendukungnya. Dengan ketentuan, ada penjelasan dari pemerintah, sehingga tidak menjadi aksioma di masyarakat.
Terpisah, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menyayangkan sikap pemerintah dalam mewacanakan PPN Pendidikan. Menurut dia, meski masih berupa wacana, alangkah lebih baik pemerintah mulai melupakannya.
"Belum ada konsep yang matang. Akan tetapi, walaupun sebatas wacana, sebaiknya pemerintah tidak perlu mewacakan lagi," ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Dia menambahkan, jika PPN Pendidikan diberlakukan, jelas bisa memberatkan pendidikan dan masyarakat Indonesia secara umum. Alih-alih membahas rencana tersebut dan tetap memajaki pendidikan, Mu’ti beranggapan, pemerintah bisa fokus pada sumber pendapatan lain. Terutama, mulai memaksimalkan pajak dari sektor yang masih terbuka.
Sebelumnya, diketahui jika pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Adapun rencana tersebut tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Berdasarkan rancangan RUU KUP, pemerintah akan menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN. Jasa pendidikan dihapus seperti pendidikan sekolah mulai dari PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus.